Minggu, 29 Maret 2009

Petaka Situ Gintung : Sedikit Faktor Alam, Dominan Faktor Kebijakan



Satu-satunya surga hijau di wilayah Ciputat dalam sekejap berubah menjadi neraka. Bau anyir dan lumpur teronggok di mana-mana. Tak pantas memang mencari siapa yang salah dalam tragedi Situ Gintung dikala ratusan orang bersimpuh menangisi kepergian sanak saudaranya dan cemas akan masa depan mereka. Namun bencana ini harus dijadikan pelajaran. Ada puluhan situ serupa di Jabodetabek yang tidak boleh menjadi Situ Gintung berikutnya. Situ di Jabodetabek adalah malaikat di kala musim penghujan datang, mereka menyelamatkan jutaan warga Jabodetabek dari kebanjiran. Di kala musim kemarau menyimpan cadangan air yang tidak sedikit bahkan menjadi tempat wisata. Faktanya, puluhan situ tersebut tidak berbeda nasibnya dengan Situ Gintung. Mereka makin terpinggirkan dari tahun ke tahun, makin menyempit termakan keserakahan pembangunan.


Pasca bencana, pemerintah berkilah bahwa faktor alam adalah sebab utama tragedi ini. Dirjen Sumber Daya Air Departemen PU Iwan Nursyirwan mengatakan bahwa jebolnya saluran pelimpah (spillway) Situ Gintung di Cirendeu, Ciputat akibat dari volume air yang terlalu besar akibat hujan deras yang mengguyur daerah tersebut sejak sore hari hingga malam. Iwan mengatakan bahwa tidak ada faktor human error maupun kerusakan bendungan dalam musibah ini, tetapi lebih kepada volume air yang datang melebihi kapasitas rencana daya tampung Situ Gintung. Benarkah demikian ? Mari kita runut kebelakang, dengan sedikit melakukan evaluasi kebijakan pemerintah terhadap situ tersebut, sedikit banyak black box tragedi ini bisa kita raba.


Pertama, adalah naif bila mengatakan petaka ini adalah natural disaster atau bencana yang diakibatkan oleh faktor alam. Logika untuk melihat bencana ini tidak bisa disamakan dengan kondisi gempa atau tsunami di Aceh yang sulit diprediksi. Pertanda akan datangnya bencana ini bisa diukur dengan pengecekan secara berkala lewat deteksi curah hujan dan kapasitas limpahan air. Ada faktor kelalaian seperti salah perhitungan di dalamnya. Pendekatan untuk memahaminya mirip seperti maintenance pesawat terbang, semakin tinggi kapasitas maintenancenya semakin rendah kemungkinan kecelakaan yang terjadi. Dengan pendekatan seperti ini, maskapai eropa telah mendekati zero accident. Hanya satu dari sejuta penerbangan yang mengalami musibah. Bandingkan dengan maskapai di Indonesia yang maintenancenya buruk, Indonesia mencatat tiga dari sejuta penerbangan mengalami kecelakaan.


Kedua, seperti banyak diungkapkan media massa. Masyarakat sejak dua tahun lalu mengeluh tentang bahaya kerusakan Situ Gintung, sayangnya menurut mereka pemerintah belum bertindak cepat untuk menanggulanginya. Mengapa kebijakan publik bisa demikian kesiangan ? ada permasalahan kewenangan disini, terjadi saling lempar tanggungjawab antara Pemerintah Banten sebagai otoritas di hulu, pemerintah DKI di hilir dan pusat (Balai Besar Sungai Ciliwung Cisadane/BKSCC). Paradigma pengelolaan sumber daya alam yang borderless ternyata hanya tercatat di buku-buku tebal bangku kuliah. Pemerintah Banten merasa hanya bertanggungjawab untuk mengurusi masalah sosial kemasyarakatan sekitar situ, Pemerintah DKI lepas tangan karena merasa itu bukan wilayahnya dan baru terkuak bahwa BKSCC lah yang selama ini memegang kendali atas situ tersebut. Maka jelas saja, aliran informasi untuk tindak lanjut melalui kebijakan menjadi tersendat. Masyarakat awam jelas tidak tahu pembagian kewenangan birokrasi ini sehingga hanya berharap pada pemerintah Banten yang justru tidak punya kewenangan untuk mengatasinya. Mungkinkah ada koordinasi diantara mereka ? seharusnya ada, dan bilapun ada seharusnya kejadian ini bisa diantisipasi sebelumnya.


Ketiga, melihat sekilas kondisi tata kota dan demografi sekitar Situ Gintung, mudah ditebak kalau ada kesalahan pengelolaan di sana. Kesalahan terutama adalah membiarkan masyarakat untuk rentan terhadap bencana (vulnerability factor). Situ Gintung yang awalnya seluas 31 hektar di awal pembangunannya kini tersisa hanya 20 hektar saja. Mengapa demikian ? konon derap pembangunan wilayah pinggiran Jakarta yang makin marak menjadi penyebabnya. Dibangunnya sejumlah universitas disekitar situ menjadi salah satu daya tariknya. Kondisi ini membuat harga tanah merangkak naik dengan cepat bahkan sejajar dengan harga tanah di Jakarta. Akibatnya wilayah ini menjadi menarik secara ekonomis, berdirilah berbagai rumah bahkan yang berkategori mewah. Perkembangan ini menyempitkan luas situ, kapasitas limpahan air menjadi terbatas. Permasalahannya adalah pemerintah menggunakan asumsi curah hujan yang sama dengan tahun 1910-1960 padahal cuaca telah berubah dengan ekstrim.


Belum lagi masyarakat yang tinggal dibawah tanggul. Posisi mereka sangat rawan bencana, ketinggian pemukiman tersebut 15 meter di bawah tanggul. Bagaimana mungkin pemerintah bisa membiarkan hal ini terjadi dengan percaya pada kekuatan tanggul yang dibangun pada masa kolonial ? Apakah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) telah mempertimbangkan kondisi rawan bencana ?


Tampaknya, faktor alam memang mempengaruhi. Namun bukankah manusia punya pengaruh terhadap alam? Kita tidak bisa melihat alam sebagai sesuatu yang konstan, yang bisa berubah-ubah semaunya tanpa kritis melihat sebabnya. Tidak hanya dalam kasus Situ Gintung. Secara makro, kebijakan publik sebagai produk pemikiran dan perbuatan manusia punya andil besar dalam menentukan bagaimana bumi ini akan bertahan bahkan berakhir sekalipun.

Minggu, 15 Maret 2009

PESONA SOFT POWER CHINA DI ASIA TENGGARA

Wacana penggunaan soft power dalam politik luar negeri belakangan kembali mengemuka terutama setelah reorientasi strategi politik luar negeri AS di bawah pemerintahan Obama. Era pemerintahan Bush yang begitu hawkish dan terkesan mendikte dunia kini telah usai. Pemerintahan Obama dengan Hillary Clinton kini mengubahnya dengan soft power yang menurut mereka adalah smart diplomacy. Namun ternyata tidak hanya AS yang melakukannya. China yang terkenal otoriter dan kaku di dalam negeri justru jauh lebih dulu mempraktekkannya ketimbang AS.
Selama beberapa dekade, China sempat memainkan hard power dalam membina politik luar negerinya dengan negara-negara di Asia Tenggara. Bisa kita lihat bagaimana China membantu pergerakan komunis di wilayah ini dengan bantuan persenjataan sebagaimana di Vietnam, Kamboja bahkan Indonesia. Dalam perkembangannya pasca perang dingin, ada shifiting strategi diplomasi China dengan menggunakan soft power terutama di Asia Tenggara. Soft Power sendiri menurut Joseph Nye berarti kemampuan untuk mempengaruhi dengan menggunakan budaya, partisipasi dalam organisasi internasional, diplomasi dan hubungan ekonomi. Joshua Kurlantzick menggunakan term yang lebih luas lagi yakni mencakup bantuan (aid) dan investasi.

Pesona Soft Power China
Berkembangnya pengaruh China di Asia Tenggara disebabkan oleh peluang yang diciptakan oleh kekakuan Amerika dalam diplomasinya. AS begitu lamban dalam merespon krisis ekonomi Asia tahun 1997 dan usaha counter attack tragedi 9/11 yang dianggap berlebihan. China akhirnya mampu mengambil pengaruh AS di Asia Tenggara dengan menggunakan soft power yang kebanyakan melalui bantuan luar negeri dan investasi. Dibandingkan dengan AS yang menerapkan banyak syarat untuk bantuannya, China begitu longgar dalam tawar-menawar bantuan. China tidak peduli dengan urusan dalam negeri negara yang diberikan bantuan. Ini yang disebut oleh China sebagai strategi win-win relations. Beijing bersedia mendengar keinginan negara-negara lain. Hal ini tentunya lebih disukai negara-negara Asia Tenggara yang banyak bermasalah dalam demokrasi dan HAM.
Eksistensi soft power China di Asia Tenggara begitu nyata. Thailand yang jelas-jelas sekutu AS malah berbalik ke China. Buktinya negara pertama yang dikunjungi PM Thaksin setelah pengangkatannya adalah China. Bahkan sebuah polling di Thailand menyebutkan, 70 persen responden mengaku China adalah kekuatan luar yang paling berpengaruh di Thailand. Di Filipina, Kajian Henry Yap of National Defense University menyebutkan bahwa bantuan China ke negeri ini tiga kali lipat jumlahnya dibandingkan bantuan AS. Di Indonesia menurut Georgetown Southeast Asia Survey pada tahun 2004, jumlah pelajar yang mendapatkan visa belajar di China jumlahnya dua kali lipat dibandingkan mereka yang belajar di AS. Pada tahun 2008, China memang membuka 120.000 kursi perguruan tingginya bagi mahasiswa asing, bandingkan dengan 20 tahun lalu yang hanya menyediakan 2.000 kursi saja. Kajian Malaysian Bussinesspeople lebih menarik lagi. Di Malaysia kendatipun banyak pengusaha lokal merasa terancam dengan kehadiran barang-barang China, mereka melihat China dengan citra positif.
Secara global implikasi soft power China ini tidak main-main. Horizon Group mencatat China adalah negara paling terkemuka di dunia dengan skor 40 persen.

Ada Apa di Balik Soft Power China ?
Secara normatif, goal dari penerapan strategi soft power China adalah terciptanya perdamaian internasional. Perdamaian berarti memberikan kesempatan bagi perekonomian China untuk terus tumbuh dan memastikan selalu ada tempat bagi China untuk memasarkan barang-barang mereka. China juga ingin mengurangi pengaruh Jepang dan Taiwan di Asia Tenggara, memotong jaringan bisnis Taiwan demi menegakkan One China Policy. Tujuan akhir dari strategi ini adalah tentunya, mengurangi pengaruh AS di Asia Tenggara hingga mereka beralih ke Beijing. Mengimplementasikan sebuah Monroe Doctrine baru, menciptakan sebuah orientasi bahwa China merupakan sebuah solusi baru bagi masalah regional.

Bahaya Pesona Soft Power China
Dalam beberapa kasus, penerapan soft power China bisa membahayakan terutama bagi cita-cita demokratisasi, gerakan antikorupsi, pelestarian lingkungan dan good governance negara-negara di Asia Tenggara. Selain mengekspor bantuannya, China juga mentransfer secara bersamaan pengaruh-pengaruh buruk bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik.
Di Burma selain mendukung junta militer, China menyokong perusahaan yang melakukan deforestasi besar-besaran. China juga membangun sebuah dam besar yang mengancam jutaan penduduk Indocina yang bergantung pada aliran sungai Mekong. Di Filipina ketika banyak lembaga internasional menyuarakan banyaknya korupsi dalam proyek-proyek be sar di negeri tersebut, China malah menawarkan bantuan US$ 400 juta untuk pembangunan jalur kereta api tanpa transparansi dan analisis dampak lingkungan yang matang. Di Indonesia juga terkuak bagaimana China bisa mendapatkan proyek gas Tangguh jauh di bawah harga pasaran internasional. Diduga ada suap dalam proses bidding proyek tersebut.

Review dari Jurnal :
Joshua Kurlantzick. China’s Charm, Implications of Chinese Soft Power. Carnegie Endowment Policy Brief, June 2006.