
Satu-satunya surga hijau di wilayah Ciputat dalam sekejap berubah menjadi neraka. Bau anyir dan lumpur teronggok di mana-mana. Tak pantas memang mencari siapa yang salah dalam tragedi Situ Gintung dikala ratusan orang bersimpuh menangisi kepergian sanak saudaranya dan cemas akan masa depan mereka. Namun bencana ini harus dijadikan pelajaran. Ada puluhan situ serupa di Jabodetabek yang tidak boleh menjadi Situ Gintung berikutnya. Situ di Jabodetabek adalah malaikat di kala musim penghujan datang, mereka menyelamatkan jutaan warga Jabodetabek dari kebanjiran. Di kala musim kemarau menyimpan cadangan air yang tidak sedikit bahkan menjadi tempat wisata. Faktanya, puluhan situ tersebut tidak berbeda nasibnya dengan Situ Gintung. Mereka makin terpinggirkan dari tahun ke tahun, makin menyempit termakan keserakahan pembangunan.
Pasca bencana, pemerintah berkilah bahwa faktor alam adalah sebab utama tragedi ini. Dirjen Sumber Daya Air Departemen PU Iwan Nursyirwan mengatakan bahwa jebolnya saluran pelimpah (spillway) Situ Gintung di Cirendeu, Ciputat akibat dari volume air yang terlalu besar akibat hujan deras yang mengguyur daerah tersebut sejak sore hari hingga malam. Iwan mengatakan bahwa tidak ada faktor human error maupun kerusakan bendungan dalam musibah ini, tetapi lebih kepada volume air yang datang melebihi kapasitas rencana daya tampung Situ Gintung. Benarkah demikian ? Mari kita runut kebelakang, dengan sedikit melakukan evaluasi kebijakan pemerintah terhadap situ tersebut, sedikit banyak black box tragedi ini bisa kita raba.
Pertama, adalah naif bila mengatakan petaka ini adalah natural disaster atau bencana yang diakibatkan oleh faktor alam. Logika untuk melihat bencana ini tidak bisa disamakan dengan kondisi gempa atau tsunami di Aceh yang sulit diprediksi. Pertanda akan datangnya bencana ini bisa diukur dengan pengecekan secara berkala lewat deteksi curah hujan dan kapasitas limpahan air. Ada faktor kelalaian seperti salah perhitungan di dalamnya. Pendekatan untuk memahaminya mirip seperti maintenance pesawat terbang, semakin tinggi kapasitas maintenancenya semakin rendah kemungkinan kecelakaan yang terjadi. Dengan pendekatan seperti ini, maskapai eropa telah mendekati zero accident. Hanya satu dari sejuta penerbangan yang mengalami musibah. Bandingkan dengan maskapai di Indonesia yang maintenancenya buruk, Indonesia mencatat tiga dari sejuta penerbangan mengalami kecelakaan.
Kedua, seperti banyak diungkapkan media massa. Masyarakat sejak dua tahun lalu mengeluh tentang bahaya kerusakan Situ Gintung, sayangnya menurut mereka pemerintah belum bertindak cepat untuk menanggulanginya. Mengapa kebijakan publik bisa demikian kesiangan ? ada permasalahan kewenangan disini, terjadi saling lempar tanggungjawab antara Pemerintah Banten sebagai otoritas di hulu, pemerintah DKI di hilir dan pusat (Balai Besar Sungai Ciliwung Cisadane/BKSCC). Paradigma pengelolaan sumber daya alam yang borderless ternyata hanya tercatat di buku-buku tebal bangku kuliah. Pemerintah Banten merasa hanya bertanggungjawab untuk mengurusi masalah sosial kemasyarakatan sekitar situ, Pemerintah DKI lepas tangan karena merasa itu bukan wilayahnya dan baru terkuak bahwa BKSCC lah yang selama ini memegang kendali atas situ tersebut. Maka jelas saja, aliran informasi untuk tindak lanjut melalui kebijakan menjadi tersendat. Masyarakat awam jelas tidak tahu pembagian kewenangan birokrasi ini sehingga hanya berharap pada pemerintah Banten yang justru tidak punya kewenangan untuk mengatasinya. Mungkinkah ada koordinasi diantara mereka ? seharusnya ada, dan bilapun ada seharusnya kejadian ini bisa diantisipasi sebelumnya.
Ketiga, melihat sekilas kondisi tata kota dan demografi sekitar Situ Gintung, mudah ditebak kalau ada kesalahan pengelolaan di sana. Kesalahan terutama adalah membiarkan masyarakat untuk rentan terhadap bencana (vulnerability factor). Situ Gintung yang awalnya seluas 31 hektar di awal pembangunannya kini tersisa hanya 20 hektar saja. Mengapa demikian ? konon derap pembangunan wilayah pinggiran Jakarta yang makin marak menjadi penyebabnya. Dibangunnya sejumlah universitas disekitar situ menjadi salah satu daya tariknya. Kondisi ini membuat harga tanah merangkak naik dengan cepat bahkan sejajar dengan harga tanah di Jakarta. Akibatnya wilayah ini menjadi menarik secara ekonomis, berdirilah berbagai rumah bahkan yang berkategori mewah. Perkembangan ini menyempitkan luas situ, kapasitas limpahan air menjadi terbatas. Permasalahannya adalah pemerintah menggunakan asumsi curah hujan yang sama dengan tahun 1910-1960 padahal cuaca telah berubah dengan ekstrim.
Belum lagi masyarakat yang tinggal dibawah tanggul. Posisi mereka sangat rawan bencana, ketinggian pemukiman tersebut 15 meter di bawah tanggul. Bagaimana mungkin pemerintah bisa membiarkan hal ini terjadi dengan percaya pada kekuatan tanggul yang dibangun pada masa kolonial ? Apakah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) telah mempertimbangkan kondisi rawan bencana ?

Tampaknya, faktor alam memang mempengaruhi. Namun bukankah manusia punya pengaruh terhadap alam? Kita tidak bisa melihat alam sebagai sesuatu yang konstan, yang bisa berubah-ubah semaunya tanpa kritis melihat sebabnya. Tidak hanya dalam kasus Situ Gintung. Secara makro, kebijakan publik sebagai produk pemikiran dan perbuatan manusia punya andil besar dalam menentukan bagaimana bumi ini akan bertahan bahkan berakhir sekalipun.