Sabtu, 26 September 2009

Stories From Sinoland Part 3 : Kita Tidak Lagi di Belakang


Apa yang membuat saya resah terhadap bangsa ini sekarang bukanlah karena bencana alam, korupsi, konspirasi pelemahan sebuah lembaga , konflik Indonesia- Malaysia atau semua masalah bangsa yang terpapar tiap pagi dengan hangatnya di koran; tapi justru bagaimana sebagian besar kita yang tidak sadar dengan arah bangsa ini. Kita tidak pernah menyadari bahwa Indonesia sedang on the right track, menapak menuju sebuah bangsa besar yang disegani. Sebuah bangsa yang akan memiliki peran kepemimpinan dalam pergaulan internasional dalam dekade mendatang.

Lalu apa masalahnya ? di level individual dengan kondisi seperti ini kita seperti tidak punya energi positif untuk memandang diri kita sendiri sebagai bagian dari sebuah bangsa yang besar. Kita selalu terjebak dalam apa yang disebut oleh Dr. Dino Patti Jalal sebagai ‘culture of cynicism’ pada negeri sendiri. Energi negatif ini membuat kita kalah sebelum bertanding karena malas mencari solusi dan meraih target hanya karena putus asa memandang Indonesia dengan berbagai masalahnya yang tak kunjung usai. Lebih parah lagi, budaya sinisme membuat orang tidak percaya diri, hanya meratapi nasib dan dirundung self doubt. Sudah terlalu lama kita kehilangan kebanggaan pada negeri ini dan keadaan ini membuat kita terjebak dalam lingkaran setan pesimisme. Sangat penting untuk membangkitkan kembali ‘need for achievement’ ala Mclelland di Indonesia.

Percakapan Dengan Profesor Cox

Cerita berawal di Beijing dalam sebuah percakapan yang tidak akan terlupakan selama hidup. Suatu siang saya menyapa Profesor Michael Cox dosen kami, seorang pakar Ilmu Politik dari The London School of Economics and Political Science (LSE). Beliau adalah sosok profesor terbaik yang pernah saya temui, tidak hanya dari kapabilitasnya tapi juga dari personalitynya. Kalau beliau pintar itu wajar tapi beliau adalah sosok yang ramah, open minded dan hebatnya walaupun tampak seperti kakek kami namun beliau tahu benar cara bergaul dengan anak muda. Dengan santainya beliau mengajar dengan bercelana pendek plus kaos polo hampir setiap hari, mengajak kami makan siang bersama dan melakukan pendekatan personal. Di setiap kesempatan seperti makan siang, kami sulit melupakan candanya yang membuat suasana selalu segar.

Di siang itu saya bertanya pada beliau tentang regionalisme ASEAN dan pengaruhnya bagi masa depan Indonesia. Dengan lugas beliau mengapresiasi ASEAN. Bagi beliau ASEAN adalah ASEAN, yang artinya ASEAN tidak perlu jadi Uni Eropa untuk menjadi ideal. Satu-satunya masalah bagi ASEAN adalah Myanmar dan bagi Profesor Cox kasus Myanmar sangat memalukan.

Tapi bukan itu poin percakapan kami, sesaat kemudian beliau mengaitkannya dengan Indonesia. Menurut beliau, tanpa ASEAN pun Indonesia akan menjadi sebuah negara besar dalam waktu dekat. Saya terhenyak dengan pernyataan ini. Saya yakin Profesor Cox tidak bermaksud menafikan peran ASEAN, beliau lebih pada posisi mengisyaratkan optimisme masa depan Indonesia sebagai sebuah negara besar yang mandiri. Sayangnya kami terlalu lama bercakap-cakap dan teman-teman lain menunggu untuk mengajukan pertanyaan lain. Akhirnya percakapan kami berakhir menyisakan pertanyaan, apa yang membuat orang lain di luar begitu optimis dengan masa depan kita ?


On The Right Track

Terlepas dari segala permasalahan yang ada, Indonesia saat ini sedang on the right track atau berada di jalur yang benar. Di bidang ekonomi bersama dengan China dan India, Indonesia memantapkan diri sebagai salah satu dari 3 negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Sebuah prestasi di kala perekonomian dunia merosot. Jepang misalnya sebagai raksasa ekonomi Asia kini mengalami defisit ekonomi terbesar sepanjang sejarah pasca perang dunia ke II. Kondisi tersebut membuat rakyat Jepang tidak percaya lagi pada LDP yang telah lama memimpin Jepang. Taiwan yang dulunya ‘ngeyel’ dengan China karena ekonominya yang lebih kuat kini tampak mulai dekat dengan Beijing karena memang butuh. Singapura dan Malaysia setali tiga uang, mereka sekilas tampak kuat tapi pertumbuhan ekonomi mereka saat ini minus.

Hebatnya lagi, pertumbuhan ekonomi tersebut bisa kita jaga tanpa ‘Asian Values’, sebuah nilai yang pernah kita terapkan selama 32 tahun. ‘Asian Values’ mensyaratkan sebuah sistem politik yang semi otoritarian untuk menjaga stabilitas ekonomi di suatu negara dengan caranya masing-masing. Sampai saat ini ‘Asian Values’ masih diterapkan oleh Malaysia dan Singapura, sementara di China melebur menjadi kapitalisme sosial. Indonesia berhasil menjaga pertumbuhan ekonominya sejalan dengan kematangan berdemokrasi. Semua itu dibangun hanya dalam semalam dalam istilah Jeffrey Sachs.

Perkembangan ini membuat para ekonom merevisi istilah BIRC dan Chindia sebagai pusat pertumbuhan dunia. Istilah BRIC (Brazil-Rusia-Indonesia-China) buatan Coleman pada awal tahun 2000-an kini berubah menjadi BRIICS (Brazil-Rusia-Indonesia-India-China-South Africa). Coleman sempat berkelakar kalau istilah baru ini lebih sulit diucapkan, tapi begitulah faktanya. Chindia sendiri yang menggambarkan China dan India sebagai raksasa ekonomi global sudah direvisi oleh Bloomberg dan sejumlah pakar menjadi Chindonesia yang berarti China, India dan Indonesia.

Tidak hanya di bidang ekonomi, Indonesia saat ini juga punya leadership yang mumpuni. Saya bukanlah anggota Partai Demokrat atau pengagum sosok SBY, tapi harus diakui bila kepemimpinannya sejauh ini cukup efektif. Di bulan Mei ketika menghadiri pertemuan ADB di Bali saya kaget membaca majalah Time. Baru kali ini majalah Time menganugrahkan pemimpin kita di ‘The World’s Most Influential People’. SBY ditempatkan di posisi ke sembilan disejajarkan dengan 20 pemimpin dunia lain seperi Barack Obama, Angela Merkel, Nicholas Sarkozy, Gordon Brown maupun Hillary Clinton.

Prestasi ini bukannya gratis, itu semua karena dunia memandang baik Indonesia. Kita tidak punya masalah HAM yang membelit seperti halnya masalah Timor Timur di masa lalu. Kita berhasil menyelesaikan masalah Aceh di Helsinki tanpa setetes darah pun yang tumpah. Konflik di Poso, Maluku, Papua berangsur-angsur menemui jalan terang. Kita juga pernah diterpa musibah bencana alam terbesar sepanjang sejarah, dan atas perlindungan Tuhan itu tidak membuat kita ambruk seketika, justru sebaliknya membuat kita belajar tentang bencana.

Pelan-pelan Otonomi Daerah juga ikut menunjukkan geliatnya. Isu transfer pelanggaran pusat ke daerah di balik pelaksanaan otonomi daerah sudah tak laku lagi dikonsumsi. Sekarang tiap-tiap daerah berlomba-lomba dengan inovasinya masing-masing. Gorontalo menjadi pionir pertumbuhan di timur sebagai provinsi jagung, berturut-turut disusul dengan Sragen sebagai kabupaten investasi, Solo sebagai kota yang ramah pada pedagang kecil, kota Yogyakarta dengan standar hidup yang tinggi dan sebagainya.

Di bidang militer anggaran militer kita memang tidak sebanyak Singapura sehingga tidak memungkinkan mempunyai alutsista yang ‘high end’,tapi kita patut berbangga karena pasukan elit kita menjadi yang ketiga terbaik di dunia di bawah pasukan Israel dan Amerika Serikat. Seandainya anggaran kita sudah membaik, tentunya pertahanan kita akan kembali disegani seperti di era 50-an.

Islam dan Demokrasi

Poin yang paling menarik sebenarnya adalah kita tidak perlu menjadi China untuk memantapkan pertumbuhan. Kita perlu bangga memiliki ‘Indonesian Way for Growth’.Negeri ini tidak perlu menjadi tangan besi dan mengekang kebebasan warganya untuk membangun hanya karena alasan menjaga stabilitas. Kita juga tidak perlu menjadi sosialis dan mengklaim bahwa agama adalah candu, karena toh Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia tidak merusak sendi-sendi kebangsaan.

Bahkan Islam dan demokrasi, suatu hal yang bagi sebagian kalangan merupakan kontradiksi, bisa berjalan bersamaan di negeri ini. Mengutip pernyataan Hillary Clinton dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa bulan lalu ia mengatakan,’bila ingin melihat Islam, demokrasi, dan penghargaan terhadap perempuan berjalan bersama dan saling mendukung, lihatlah Indonesia’. Di beberapa negara timur tengah, demokrasi adalah hal yang hampir mustahil. Apalagi soal hak-hak wanita, kebiasaan mereka dianggap menomorduakan perempuan sebagai second class citizen. 5 tahun lalu di Saudi Arabia, saya sendiri hampir tidak menyaksikan ada perempuan yang bekerja di luar rumah. Karena Islam diidentikkan dengan Arab, maka tradisi tadi direlasikan dengan Islam. Hadirlah stereotyping terhadap Islam di mata barat.

Beruntung selama di Beijing saya memiliki rekan dari Jerman dan Korea Selatan yang amat concern terhadap isu ini. Kami membentuk sebuah kelompok dan mempresentasikan kondisi Islam dan Demokrasi yang sebenarnya dengan contoh kasus di Indonesia. Rekan dari Jerman mengamanatkan saya untuk bercerita apa-adanya tentang Islam dan Demokrasi di Indonesia. Saya menjelaskan bahwa di Indonesia, Islam tidak menghalangi masyarakat untuk berdemokrasi. Islam juga membuka peluang bagi wanita-wanita terbaiknya untuk berkembang. Mereka memiliki hak ekonomi, intelektual bahkan politik. Audiens yang sebagian besar berasal dari Eropa akhirnya mengapresiasi kami. Bahkan teman dari Amerika Latin mengatakan kalau bangsa Arab yang seharusnya belajar dari Indonesia, bukan sebaliknya.

Kamis, 24 September 2009

Stories From Sinoland Part 2 : Puasa Facebook


China hampir saja sempurna di mata saya kalau saja pemerintah negeri ini tidak memaksa saya berpuasa facebook. Ketika sedang berada di luar negeri, Facebook biasa menjadi setengah nyawa saya untuk berhubungan dengan kolega di tanah air. Karena selain lebih murah dibandingkan telepon, Facebook menjadi pelarian untuk ngobrol dalam bahasa Indonesia. Selama berada di Beijing saya harus ikhlas menerima kalau saya sebatang kara, satu-satunya mahasiswa Indonesia dalam program mereka.

Tidak cuma facebook, saya juga harus rela terlambat tahu video kontroversial Marshanda heboh menyanyikan lagu Christina Aguilera karena youtube diblok. Berturut-turut termasuk diantaranya twitter, blogspot, wordpress dan beberapa media barat. Tapi akhirnya saya masih bisa bernapas lega waktu mencoba Yahoo Messenger dan ternyata masih lancar jaya. Saya pun kemudian dibuat geli sendiri karena harus kembali ke zaman Friendster, entah kenapa Friendster masih boleh digunakan. Mungkin sudah sampai laporannya ke Pemerintah China kalau para netter sudah lama berbondong-bondong eksodus meninggalkan Friendster.

Beragam opini muncul soal kenapa pemerintah China begitu keras terhadap situs-situs tersebut. Kebijakan ini sangat terkenal disebut dengan ‘The Great Firewall of China’, plesetan dari kata-kata ‘The Greatwall of China’.

Argumen yang paling mengemuka adalah soal kebebasan berpendapat. China membatasi segala kemungkinan bagi masyarakat memposting sesuatu untuk menentang pemerintah. China belajar betul dari Iran ketika remaja mereka menyuarakan ke seluruh dunia berbagai masalah seputar pemilihan presiden lewat Facebook dan Twitter. Di masa itu Iran segera bereaksi dengan menutup situs-situs tersebut. Peristiwa di Iran kemudian dijadikan pelajaran bagi China ketika terjadi kerusuhan di Xinjiang di awal bulan Juli 2009. China khawatir remaja di Xinjiang akan menggunakan media yang sama untuk melawan pemerintah. Apalagi sebulan sebelum itu tepat 20 tahun Tragedi Tiananmen. Pemerintah tidak ingin isu peringatan tragedi tiananmen mencuat di dunia maya.

Alasan kedua agak terlihat konyol memang. CCTV (stasiun televisi pemerintah China) memberitakan kalau pembatasan ini untuk melindungi generasi muda China dari penyakit ketagihan internet. Ingat-ingat saja lirik lagu Saykoji yang berjudul online dan renungkan sendiri apakah argumen ini masuk akal atau tidak.

Saya pribadi bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya opini generasi muda mereka dalam kasus ini. Apakah mereka memang tidak pernah terakses facebook, atau memang mereka tidak peduli? Saya memberanikan diri bertanya.

Hasilnya cukup mencengangkan, generasi muda China ternyata punya facebook mereka sendiri bermerk Xiao Nei. Xiao Nei benar-benar mirip dengan Facebook dari segi fitur dan penampilan, bedanya Xiao Nei tidak punya fasilitas bahasa lain selain Mandarin, tidak seperti facebook dengan puluhan bahasanya. Situs ini sendiri sangat populer, buktinya ritel sekelas KFC dan Coca Cola ikut menjadi salah satu sponsornya. Xiao Nei tampaknya mendapat dukungan pemerintah karena server mereka bersifat lokal sehingga mudah saja untuk dikontrol. Namun bagi sebagian remaja China, Xiao Nei tetap tidak bisa menggantikan Facebook karena Xiao Nei tidak memungkinkan membernya untuk berhubungan dengan orang lain di luar negeri. Mereka akhirnya tetap menggunakan facebook. Ada banyak cara untuk menembus facebook di China, bisa menggunakan proxy atau program kecil yang membuat usernya seakan-akan berada di luar China.

Bagi kita orang Indonesia, setidaknya harus bersyukur karena masih bisa mengakses dan memposting apapun di dunia maya. Indonesia saat ini merupakan satu-satunya negara dengan predikat ‘free’ soal kebebasan berpendapat di ASEAN versi Freedom House. Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina masih berpredikat ‘partly free’ dan yang paling bawah adalah Myanmar dengan ‘not free’. Soal China, anda bisa menebak sendiri predikat mereka.

Rabu, 23 September 2009

Stories From Sinoland Part 1 : Dongeng Keajaiban China


Malam itu, pesawat Cathay Pacific CX 318 yang membawa saya dari Hong Kong merapat di Beijing Capital International Airport (BCIA) Beijing. Dilihat dari dalam pesawat,BCIA tampak tak seramai Chek Lap Kok di Hong Kong atau Changi Airport. Tidak begitu bervariasi maskapai internasional yang mendarat di BCIA namun terlihat jelas beberapa armada maskapai lokal China yang belum pernah saya dengar namanya : China Eastern Airlines, Hainan Airlines, Sichuan Airlines dan beberapa lainnya yang sulit diingat. Begitu belalai dijulurkan ke pintu Airbus 330-300 yang saya tumpangi, saya baru sadar kalau ada yang luar biasa di BCIA.

Bandara itu begitu megah, desainnya sangat tidak biasa, berstruktur seperti naga yang gemuk dengan perpaduan bentuk modern dan warna merah khas China. Ukurannya luar biasa, bisa dikatakan jauh lebih besar daripada Changi, Hong Kong atau Sydney Airport. Untuk berpindah dari satu terminal ke terminal yang lain, disediakan kereta cepat mirip seperti di Changi bahkan lebih futuristik. Belakangan saya baru menyadari bahwa BCIA adalah bandara terbesar di dunia yang dibangun khusus untuk olimpiade Beijing. Tidak berhenti di situ kekaguman pada BCIA, selain didukung oleh infrastruktur yang sangat memadai, pelayanan di BCIA bisa dikatakan sempurna. Petugas mereka sangat cekatan dan ramah walaupun bahasa Inggrisnya tidak sebaik kolega mereka di Hong Kong. Di tiap-tiap pos pelayanan disediakan 4 tombol yang bisa dimanfaatkan oleh pengguna layanan untuk mengekspresikan kepuasan pada pelayanan yang diberikan petugas. Ada tombol Excellent, Good, Fair dan Poor. Penilaian ini tidak main-main, persepsi yang diberikan pengguna layanan sangat berpengaruh pada promosi jabatan petugas. Jangan bandingkan dengan pelayan publik kita yang diukur dengan golongan, hasilnya pintar goblok pun sama saja alias PGPS.

Pemerintah China tampaknya sadar betul bahwa bandara mereka tidak hanya berfungsi sebagai gerbang masuk ke sebuah negara, lebih dari itu sebagai pemberi kesan pertama yang baik sekaligus penegasan bahwa keajaiban China itu nyata. Kedigdayaan China seperti yang diceritakan dalam buku James Kynge atau Ted Fishman bukanlah sebuah dongeng. China sudah tumbuh lebih dari 10 % selama 30 tahun terakhir semenjak Deng Xiaoping membuka pantai timur China bagi perdagangan bebas. Komunisme yang ada sekarang bukan lagi komunisme di masa Mao dengan slogan ‘sama rata sama rasa’ tapi berbalik dengan slogan baru ‘to be rich is glorious’. China memang masih memegang erat komunisme namun semua itu semata-mata hanya untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonominya. Kepalanya Komunis, tapi perutnya kapitalis. Kalau masih hidup, mungkin Karl Marx kaget begitu tahu konsepnya diobrak-abrik oleh pelaku sejarah China.

Dari bandara BCIA, tidak perlu bingung mencari tumpangan. Cukup sediakan 30 Yuan (sekitar Rp 45.000,-) ada kereta Airport Express yang sangat modern, berkecepatan lebih dari 100 km/jam yang siap membawa kita ke pusat kota hanya dalam 20 menit. Di Dongzhimen (pusat kota) kereta ini terhubung dengan 13 line subway ke seluruh penjuru Beijing hanya dengan 2 Yuan (Rp 3.000) sekali jalan. Jangan juga bandingkan Beijing Subway dengan KRL yang ada di Jakarta. Beberapa teman dari Singapura bahkan berani mengklaim kalau Beijing Subway lebih baik daripada MRT Singapura. Beijing Subway sendiri cukup nyaman dengan AC dan keamanan yang sangat ketat. Untuk memasuki stasiun saja ada pemeriksaan persis seperti di airport. Semua bawaan harus lewat scanning petugas. Agak makan waktu memang, tapi untuk keamanan apalagi kalau mengingat kejadian di London, prosedur ini tidak berlebihan. Untuk urusan ketepatan waktu, di Beijing tiap kereta datang tepat setiap 3-5 menit sekali jadi tidak ada kata menunggu lama.

Apa yang luar biasa dari Beijing Subway ? tentunya komitmen pemerintah untuk mengembangkan transportasi publik yang baik. Tiap line dibangun hanya dalam 2-3 tahun saja dan dilanjutkan terus menerus tanpa menurunkan kualitas pelayanan yang sudah ada. Di Jakarta, butuh minimal 90 bulan untuk membangun 1 line MRT. Tidak hanya di Beijing, subway sudah menjadi angkutan sehari-hari di kota-kota lain seperti Shanghai, Shenzen, Wuhan, Chongqing, Nanjing, Guangzhou dan Tianjin.
Sampai di tengah kota, saya dibuat terhenyak dengan kondisi Beijing. Beijing dalam benak saya hanyalah lapangan Tiananmen dengan bangunan-bangunan tua disekitarnya. Ternyata saya salah, Beijing begitu metropolis. Beijing punya motto ‘everday’s changing’, selalu ada perubahan setiap hari. Beijing yang sekarang pastinya akan sangat berbeda di tahun depan. Sekarang saja gedung-gedung pencakar langit merayap hingga sudut-sudut kota. Masyarakat tidak lagi tinggal di rumah, mereka seperti kehabisan lahan sehingga tinggal di apartemen. Mobil-mobil yang berlalu lalang hampir semuanya kelihatan baru. Maklum saja, pertumbuhan orang kaya di China masih yang teratas di dunia sekarang. Selain itu, pemerintah telah menyingkirkan 40% mobil-mobil tua dan melarang sepeda motor untuk menjaga kualitas udara kota Beijing.

Saya sendiri tinggal di sebuah flat tepat di tengah Zhongguancun, seberang Peking University tempat saya belajar. Zhongguancun adalah Silicon Valleynya China, zona pusat pengembangan dan perdagangan IT. Setiap hari saya menyaksikan bagaimana laptop dengan berbagai merk global diperdagangkan hanya dengan mengendarai sepeda dan MP4 player dijajakan di pinggir jalan. Itu juga pertama kalinya saya tahu ada gadget khusus MP5. Tiap melintas perkantoran Zhongguancun sudah barang biasa saya kecele melihat banyak bule yang ternyata bukanlah wisatawan. Mereka adalah ekspatriat dari Amerika atau Eropa yang mengadu nasib di China. Semenjak perekonomian barat menurun dan lapangan pekerjaan tidak lagi mudah dicari di negara maju, kini China menjadi sasaran lulusan universitas terkemuka dunia. Dengan pertumbuhan ekonomi dua digit, pasar tenaga kerja di China terus berkembang pesat dengan tawaran pendapatan yang jauh di atas kebutuhan hidup sehari-hari. Di China, mudah sekali ditemukan kios yang menjual makanan berat hanya dengan 6 Yuan (Rp 9.000). Bandingkan dengan di negara maju, untuk membeli air mineral saja minimal harus merogoh $ 2.

Dari kesemua sisi fisik seperti infrastruktur pembangunan, China sudah layak disebut negara maju. Beberapa fasilitasnya bahkan lebih baik dari Singapura ataupun Australia. Jembatan, Bandara, Jalan Tol, dan segala infrastruktur terbaik di muka bumi ada di China. Tidak heran bila rakyat China kini menikmati kesejahteraan berlipat ganda jauh bila dibandingkan dengan 20 tahun lalu. Inilah keajaiban China. Namun bukan berarti China sudah layak disebut negara maju. Dilihat dari mentalitas penduduknya, China tak ubahnya seperti Indonesia. Soal kebersihan dan ketertiban, China masih jauh dibelakang. Orang masih bebas merokok di mana saja, bahkan di kampus dan tempat-tempat umum. Seperti di India, memencet klakson sekeras-kerasnya sambil mengemudikan kendaraan dengan tergesa-gesa adalah keseharian. Sampah juga masih berserakan di tempat-tempat umum. Maklum saja, Roma tidak dibangun dalam sehari. Menyelaraskan antara keajaiban materil dan mentalitas bukanlah pekerjaan mudah.