
China hampir saja sempurna di mata saya kalau saja pemerintah negeri ini tidak memaksa saya berpuasa facebook. Ketika sedang berada di luar negeri, Facebook biasa menjadi setengah nyawa saya untuk berhubungan dengan kolega di tanah air. Karena selain lebih murah dibandingkan telepon, Facebook menjadi pelarian untuk ngobrol dalam bahasa Indonesia. Selama berada di Beijing saya harus ikhlas menerima kalau saya sebatang kara, satu-satunya mahasiswa Indonesia dalam program mereka.
Tidak cuma facebook, saya juga harus rela terlambat tahu video kontroversial Marshanda heboh menyanyikan lagu Christina Aguilera karena youtube diblok. Berturut-turut termasuk diantaranya twitter, blogspot, wordpress dan beberapa media barat. Tapi akhirnya saya masih bisa bernapas lega waktu mencoba Yahoo Messenger dan ternyata masih lancar jaya. Saya pun kemudian dibuat geli sendiri karena harus kembali ke zaman Friendster, entah kenapa Friendster masih boleh digunakan. Mungkin sudah sampai laporannya ke Pemerintah China kalau para netter sudah lama berbondong-bondong eksodus meninggalkan Friendster.
Beragam opini muncul soal kenapa pemerintah China begitu keras terhadap situs-situs tersebut. Kebijakan ini sangat terkenal disebut dengan ‘The Great Firewall of China’, plesetan dari kata-kata ‘The Greatwall of China’.
Argumen yang paling mengemuka adalah soal kebebasan berpendapat. China membatasi segala kemungkinan bagi masyarakat memposting sesuatu untuk menentang pemerintah. China belajar betul dari Iran ketika remaja mereka menyuarakan ke seluruh dunia berbagai masalah seputar pemilihan presiden lewat Facebook dan Twitter. Di masa itu Iran segera bereaksi dengan menutup situs-situs tersebut. Peristiwa di Iran kemudian dijadikan pelajaran bagi China ketika terjadi kerusuhan di Xinjiang di awal bulan Juli 2009. China khawatir remaja di Xinjiang akan menggunakan media yang sama untuk melawan pemerintah. Apalagi sebulan sebelum itu tepat 20 tahun Tragedi Tiananmen. Pemerintah tidak ingin isu peringatan tragedi tiananmen mencuat di dunia maya.
Alasan kedua agak terlihat konyol memang. CCTV (stasiun televisi pemerintah China) memberitakan kalau pembatasan ini untuk melindungi generasi muda China dari penyakit ketagihan internet. Ingat-ingat saja lirik lagu Saykoji yang berjudul online dan renungkan sendiri apakah argumen ini masuk akal atau tidak.
Saya pribadi bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya opini generasi muda mereka dalam kasus ini. Apakah mereka memang tidak pernah terakses facebook, atau memang mereka tidak peduli? Saya memberanikan diri bertanya.
Hasilnya cukup mencengangkan, generasi muda China ternyata punya facebook mereka sendiri bermerk Xiao Nei. Xiao Nei benar-benar mirip dengan Facebook dari segi fitur dan penampilan, bedanya Xiao Nei tidak punya fasilitas bahasa lain selain Mandarin, tidak seperti facebook dengan puluhan bahasanya. Situs ini sendiri sangat populer, buktinya ritel sekelas KFC dan Coca Cola ikut menjadi salah satu sponsornya. Xiao Nei tampaknya mendapat dukungan pemerintah karena server mereka bersifat lokal sehingga mudah saja untuk dikontrol. Namun bagi sebagian remaja China, Xiao Nei tetap tidak bisa menggantikan Facebook karena Xiao Nei tidak memungkinkan membernya untuk berhubungan dengan orang lain di luar negeri. Mereka akhirnya tetap menggunakan facebook. Ada banyak cara untuk menembus facebook di China, bisa menggunakan proxy atau program kecil yang membuat usernya seakan-akan berada di luar China.
Bagi kita orang Indonesia, setidaknya harus bersyukur karena masih bisa mengakses dan memposting apapun di dunia maya. Indonesia saat ini merupakan satu-satunya negara dengan predikat ‘free’ soal kebebasan berpendapat di ASEAN versi Freedom House. Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina masih berpredikat ‘partly free’ dan yang paling bawah adalah Myanmar dengan ‘not free’. Soal China, anda bisa menebak sendiri predikat mereka.
terimakasih tulisan2 anda membuat saya lebih ingin melihat isi dunia selain indonesia
BalasHapus