
Malam itu, pesawat Cathay Pacific CX 318 yang membawa saya dari Hong Kong merapat di Beijing Capital International Airport (BCIA) Beijing. Dilihat dari dalam pesawat,BCIA tampak tak seramai Chek Lap Kok di Hong Kong atau Changi Airport. Tidak begitu bervariasi maskapai internasional yang mendarat di BCIA namun terlihat jelas beberapa armada maskapai lokal China yang belum pernah saya dengar namanya : China Eastern Airlines, Hainan Airlines, Sichuan Airlines dan beberapa lainnya yang sulit diingat. Begitu belalai dijulurkan ke pintu Airbus 330-300 yang saya tumpangi, saya baru sadar kalau ada yang luar biasa di BCIA.
Bandara itu begitu megah, desainnya sangat tidak biasa, berstruktur seperti naga yang gemuk dengan perpaduan bentuk modern dan warna merah khas China. Ukurannya luar biasa, bisa dikatakan jauh lebih besar daripada Changi, Hong Kong atau Sydney Airport. Untuk berpindah dari satu terminal ke terminal yang lain, disediakan kereta cepat mirip seperti di Changi bahkan lebih futuristik. Belakangan saya baru menyadari bahwa BCIA adalah bandara terbesar di dunia yang dibangun khusus untuk olimpiade Beijing. Tidak berhenti di situ kekaguman pada BCIA, selain didukung oleh infrastruktur yang sangat memadai, pelayanan di BCIA bisa dikatakan sempurna. Petugas mereka sangat cekatan dan ramah walaupun bahasa Inggrisnya tidak sebaik kolega mereka di Hong Kong. Di tiap-tiap pos pelayanan disediakan 4 tombol yang bisa dimanfaatkan oleh pengguna layanan untuk mengekspresikan kepuasan pada pelayanan yang diberikan petugas. Ada tombol Excellent, Good, Fair dan Poor. Penilaian ini tidak main-main, persepsi yang diberikan pengguna layanan sangat berpengaruh pada promosi jabatan petugas. Jangan bandingkan dengan pelayan publik kita yang diukur dengan golongan, hasilnya pintar goblok pun sama saja alias PGPS.
Pemerintah China tampaknya sadar betul bahwa bandara mereka tidak hanya berfungsi sebagai gerbang masuk ke sebuah negara, lebih dari itu sebagai pemberi kesan pertama yang baik sekaligus penegasan bahwa keajaiban China itu nyata. Kedigdayaan China seperti yang diceritakan dalam buku James Kynge atau Ted Fishman bukanlah sebuah dongeng. China sudah tumbuh lebih dari 10 % selama 30 tahun terakhir semenjak Deng Xiaoping membuka pantai timur China bagi perdagangan bebas. Komunisme yang ada sekarang bukan lagi komunisme di masa Mao dengan slogan ‘sama rata sama rasa’ tapi berbalik dengan slogan baru ‘to be rich is glorious’. China memang masih memegang erat komunisme namun semua itu semata-mata hanya untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonominya. Kepalanya Komunis, tapi perutnya kapitalis. Kalau masih hidup, mungkin Karl Marx kaget begitu tahu konsepnya diobrak-abrik oleh pelaku sejarah China.
Dari bandara BCIA, tidak perlu bingung mencari tumpangan. Cukup sediakan 30 Yuan (sekitar Rp 45.000,-) ada kereta Airport Express yang sangat modern, berkecepatan lebih dari 100 km/jam yang siap membawa kita ke pusat kota hanya dalam 20 menit. Di Dongzhimen (pusat kota) kereta ini terhubung dengan 13 line subway ke seluruh penjuru Beijing hanya dengan 2 Yuan (Rp 3.000) sekali jalan. Jangan juga bandingkan Beijing Subway dengan KRL yang ada di Jakarta. Beberapa teman dari Singapura bahkan berani mengklaim kalau Beijing Subway lebih baik daripada MRT Singapura. Beijing Subway sendiri cukup nyaman dengan AC dan keamanan yang sangat ketat. Untuk memasuki stasiun saja ada pemeriksaan persis seperti di airport. Semua bawaan harus lewat scanning petugas. Agak makan waktu memang, tapi untuk keamanan apalagi kalau mengingat kejadian di London, prosedur ini tidak berlebihan. Untuk urusan ketepatan waktu, di Beijing tiap kereta datang tepat setiap 3-5 menit sekali jadi tidak ada kata menunggu lama.
Apa yang luar biasa dari Beijing Subway ? tentunya komitmen pemerintah untuk mengembangkan transportasi publik yang baik. Tiap line dibangun hanya dalam 2-3 tahun saja dan dilanjutkan terus menerus tanpa menurunkan kualitas pelayanan yang sudah ada. Di Jakarta, butuh minimal 90 bulan untuk membangun 1 line MRT. Tidak hanya di Beijing, subway sudah menjadi angkutan sehari-hari di kota-kota lain seperti Shanghai, Shenzen, Wuhan, Chongqing, Nanjing, Guangzhou dan Tianjin.
Sampai di tengah kota, saya dibuat terhenyak dengan kondisi Beijing. Beijing dalam benak saya hanyalah lapangan Tiananmen dengan bangunan-bangunan tua disekitarnya. Ternyata saya salah, Beijing begitu metropolis. Beijing punya motto ‘everday’s changing’, selalu ada perubahan setiap hari. Beijing yang sekarang pastinya akan sangat berbeda di tahun depan. Sekarang saja gedung-gedung pencakar langit merayap hingga sudut-sudut kota. Masyarakat tidak lagi tinggal di rumah, mereka seperti kehabisan lahan sehingga tinggal di apartemen. Mobil-mobil yang berlalu lalang hampir semuanya kelihatan baru. Maklum saja, pertumbuhan orang kaya di China masih yang teratas di dunia sekarang. Selain itu, pemerintah telah menyingkirkan 40% mobil-mobil tua dan melarang sepeda motor untuk menjaga kualitas udara kota Beijing.
Saya sendiri tinggal di sebuah flat tepat di tengah Zhongguancun, seberang Peking University tempat saya belajar. Zhongguancun adalah Silicon Valleynya China, zona pusat pengembangan dan perdagangan IT. Setiap hari saya menyaksikan bagaimana laptop dengan berbagai merk global diperdagangkan hanya dengan mengendarai sepeda dan MP4 player dijajakan di pinggir jalan. Itu juga pertama kalinya saya tahu ada gadget khusus MP5. Tiap melintas perkantoran Zhongguancun sudah barang biasa saya kecele melihat banyak bule yang ternyata bukanlah wisatawan. Mereka adalah ekspatriat dari Amerika atau Eropa yang mengadu nasib di China. Semenjak perekonomian barat menurun dan lapangan pekerjaan tidak lagi mudah dicari di negara maju, kini China menjadi sasaran lulusan universitas terkemuka dunia. Dengan pertumbuhan ekonomi dua digit, pasar tenaga kerja di China terus berkembang pesat dengan tawaran pendapatan yang jauh di atas kebutuhan hidup sehari-hari. Di China, mudah sekali ditemukan kios yang menjual makanan berat hanya dengan 6 Yuan (Rp 9.000). Bandingkan dengan di negara maju, untuk membeli air mineral saja minimal harus merogoh $ 2.
Dari kesemua sisi fisik seperti infrastruktur pembangunan, China sudah layak disebut negara maju. Beberapa fasilitasnya bahkan lebih baik dari Singapura ataupun Australia. Jembatan, Bandara, Jalan Tol, dan segala infrastruktur terbaik di muka bumi ada di China. Tidak heran bila rakyat China kini menikmati kesejahteraan berlipat ganda jauh bila dibandingkan dengan 20 tahun lalu. Inilah keajaiban China. Namun bukan berarti China sudah layak disebut negara maju. Dilihat dari mentalitas penduduknya, China tak ubahnya seperti Indonesia. Soal kebersihan dan ketertiban, China masih jauh dibelakang. Orang masih bebas merokok di mana saja, bahkan di kampus dan tempat-tempat umum. Seperti di India, memencet klakson sekeras-kerasnya sambil mengemudikan kendaraan dengan tergesa-gesa adalah keseharian. Sampah juga masih berserakan di tempat-tempat umum. Maklum saja, Roma tidak dibangun dalam sehari. Menyelaraskan antara keajaiban materil dan mentalitas bukanlah pekerjaan mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar