Minggu, 12 April 2009

The Power Of Facebook : Antara The New Public Sphere Dan Pergeseran Sosok Masyarakat


Sejak diluncurkan oleh Mark Zuckerberg pada tahun 2004, facebook menjelma menjadi sebuah situs pertemanan yang fenomenal. Pertumbuhannya luar biasa, hampir di setiap negara situs ini menduduki urutan teratas. Di Asia perlahan tapi pasti facebook menggeser dominasi Friendster. Di dunia arab bahkan, sebuah dunia yang dikenal akrab dengan ‘privacy’ dan tata nilai yang kaku, facebook mulai digandrungi. Kondisi ini tentunya membuat pundi-pundi uang pemiliknya terus bertambah. Di luar itu, ada kapitalisasi kekuatan sosial politik yang menguat berbanding lurus dengan masifnya facebook. Masalahnya adalah munculnya eskternalitas sosial di balik kapitalisasi Facebook yakni pergeseran sosok masyarakat. 

Facebook Sebagai The New Public Sphere 
 Istilah public sphere pertama kali dikemukakan oleh Juergen Habermas. Terminasi public sphere biasanya digunakan dalam kerangka komunikasi politik yang positif. Public sphere digambarkan oleh Habermas sebagai sebuah ruang inklusif dimana masyarakat secara kolektif membuat sebuah opini publik dalam sebuah lingkungan terkait dengan kondisi sosial politik maupun ekonomi. Sayangnya dalam terminasi tersebut Habermas tidak menggambarkan bagaimana seharusnya seorang politisi mampu memanfaatkan public sphere

 Apakah facebook sendiri merupakan public sphere? Jelas, facebook merupakan sebuah ruang publik yang inklusif, semua orang asal melek komputer bisa menggunakannya. Tujuan orang menggunakan facebook juga mulai berkembang. Orang tidak hanya mengenal facebook sebagai tempat narsis-narsisan lagi tapi mulai meliriknya sebagai tempat untuk melemparkan sebuah wacana. Ketika wacana yang dilemparkan ditanggapi oleh pihak lain, mereka merasa eksis di sana hingga seterusnya berkembang tanpa sadar menjadi sebuah opini publik. 

 Dalam situasi seperti ini yang paling diuntungkan adalah dunia marketing khususnya marketing politik. Ada sebuah peluang yang harus dimanfaatkan dalam public sphere ini baik dalam mengarahkan opini maupun memobilisasi dukungan. Pionirnya yang melegenda adalah Presiden AS Barack Obama. Grupnya yang bertajuk ‘One Million Strong for Barack’ mampu mengumpulkan 300.000 lebih pendukung dalam kurun waktu kurang dari tiga minggu saja. Tapi itu wajar karena 90% masyarakat AS telah terakses internet dan sebagian besar memiliki account Facebook. Di Indonesia lebih fenomenal lagi, sebuah page bernama ‘Say No To Megawati’ mampu meraup hampir seratus ribu pendukung hanya dalam 3 hari saja. Padahal di negeri ini hanya ada 15 juta orang yang terakses internet dengan jumlah account facebook 2 juta saja. Entah berpengaruh secara langsung atau tidak, yang jelas keesokan harinya perolehan suara PDIP turun hingga 5 persen dalam pemilu legislatif. Untungnya kedua negara ini tidak mengenal strategi propaganda teknologi informasi seperti di China. China membayar sejumlah orang untuk mengcounter opini miring tentang pemerintah dengan upah 50 sen RMB per posting. Mereka biasa disebut dengan The Fifty Cents, mirip dengan nama penyanyi hip-hop di AS. 

Facebook dan Pergeseran Sosok Masyarakat
 Facebook sebagai sebuah jejaring sosial diakui memang cukup ampuh untuk mengikat modal sosial. Facebook banyak membantu orang untuk berhubungan dengan kolega lamanya, berinteraksi secara live dengan orang yang terpisah jarak dan hubungan-hubungan tersebut sering kali menghasilkan sebuah common reciprocity atau keuntungan bersama. Namun di balik kekuatannya ini facebook juga menyimpan potensi bagi terbentuknya sosok masyarakat baru yang berbeda dengan sebelumnya.

 Sosok masyarakat baru ciptaan facebook terutama pada wajahnya yang menggeserkan arti kata ‘teman’. Sikap ini dikemudian hari bisa menimbulkan beberapa resiko terutama bagi anak-anak. Tanyalah kepada teman anda berapa rata-rata teman yang dimilikinya dalam facebook. Mereka pasti menjawab dengan angka 200 hingga 500 orang. Namun teman disini bersifat ‘verbal’ artinya hanya teman dalam ‘sebutan’ setelah itu ‘they are completely strangers’ atau mereka adalah orang asing. Sebuah tulisan dalam harian Kompas Minggu pernah menyebutnya sebagai ‘the illusion of intimacy’. Kondisi seperti ini tidak memungkinkan untuk mewacanakan esensi pertemanan yang sesungguhnya seperti trust, love, support dan sharing. Juga ada seni dalam proses ‘friendship building’, sayangnya facebook belum bisa mewadahinya. Tidak hanya dalam substansi pertemanan,tapi dalam prakteknya bukan tidak mungkin fenomena ini akan mengakibatkan orang untuk menghindari berkomunikasi secara ‘face to face’. Alasan klasik yang biasa dikemukakan adalah ‘because its easier’. Permasalahannya adalah adanya gap antara ‘real life’ dengan ‘dunia maya’. Kebiasaan ini akan mengancam skill seseorang untuk berkomunikasi secara verbal. 

 Sosok yang terakhir adalah memudarnya ‘sense of privacy’ dalam masyarakat. Sudah barang tentu apa yang diposting dalam situs ini mudah sekali dibaca oleh orang lain kecuali kita benar-benar mengatur settingnya dengan cermat. Namun kurangnya rasa tanggungjawab sosial pengguna facebook terkait privacy masih nyata. Mereka mungkin sangat ketat menjaga privacy masing-masing namun tanpa disadari mereka sangat mungkin melanggar privacy orang lain. Hal ini bisa dibuktikan dengan maraknya posting yang berbau bullying dan hal-hal yang bertujuan untuk membuat malu orang lain.  


1 komentar:

  1. bagus sekali... ini tulisan anda sendiri to...?

    sam

    BalasHapus