
Apa yang membuat saya resah terhadap bangsa ini sekarang bukanlah karena bencana alam, korupsi, konspirasi pelemahan sebuah lembaga , konflik Indonesia- Malaysia atau semua masalah bangsa yang terpapar tiap pagi dengan hangatnya di koran; tapi justru bagaimana sebagian besar kita yang tidak sadar dengan arah bangsa ini. Kita tidak pernah menyadari bahwa Indonesia sedang on the right track, menapak menuju sebuah bangsa besar yang disegani. Sebuah bangsa yang akan memiliki peran kepemimpinan dalam pergaulan internasional dalam dekade mendatang.
Lalu apa masalahnya ? di level individual dengan kondisi seperti ini kita seperti tidak punya energi positif untuk memandang diri kita sendiri sebagai bagian dari sebuah bangsa yang besar. Kita selalu terjebak dalam apa yang disebut oleh Dr. Dino Patti Jalal sebagai ‘culture of cynicism’ pada negeri sendiri. Energi negatif ini membuat kita kalah sebelum bertanding karena malas mencari solusi dan meraih target hanya karena putus asa memandang Indonesia dengan berbagai masalahnya yang tak kunjung usai. Lebih parah lagi, budaya sinisme membuat orang tidak percaya diri, hanya meratapi nasib dan dirundung self doubt. Sudah terlalu lama kita kehilangan kebanggaan pada negeri ini dan keadaan ini membuat kita terjebak dalam lingkaran setan pesimisme. Sangat penting untuk membangkitkan kembali ‘need for achievement’ ala Mclelland di Indonesia.
Percakapan Dengan Profesor Cox
Cerita berawal di Beijing dalam sebuah percakapan yang tidak akan terlupakan selama hidup. Suatu siang saya menyapa Profesor Michael Cox dosen kami, seorang pakar Ilmu Politik dari The London School of Economics and Political Science (LSE). Beliau adalah sosok profesor terbaik yang pernah saya temui, tidak hanya dari kapabilitasnya tapi juga dari personalitynya. Kalau beliau pintar itu wajar tapi beliau adalah sosok yang ramah, open minded dan hebatnya walaupun tampak seperti kakek kami namun beliau tahu benar cara bergaul dengan anak muda. Dengan santainya beliau mengajar dengan bercelana pendek plus kaos polo hampir setiap hari, mengajak kami makan siang bersama dan melakukan pendekatan personal. Di setiap kesempatan seperti makan siang, kami sulit melupakan candanya yang membuat suasana selalu segar.
Di siang itu saya bertanya pada beliau tentang regionalisme ASEAN dan pengaruhnya bagi masa depan Indonesia. Dengan lugas beliau mengapresiasi ASEAN. Bagi beliau ASEAN adalah ASEAN, yang artinya ASEAN tidak perlu jadi Uni Eropa untuk menjadi ideal. Satu-satunya masalah bagi ASEAN adalah Myanmar dan bagi Profesor Cox kasus Myanmar sangat memalukan.
Tapi bukan itu poin percakapan kami, sesaat kemudian beliau mengaitkannya dengan Indonesia. Menurut beliau, tanpa ASEAN pun Indonesia akan menjadi sebuah negara besar dalam waktu dekat. Saya terhenyak dengan pernyataan ini. Saya yakin Profesor Cox tidak bermaksud menafikan peran ASEAN, beliau lebih pada posisi mengisyaratkan optimisme masa depan Indonesia sebagai sebuah negara besar yang mandiri. Sayangnya kami terlalu lama bercakap-cakap dan teman-teman lain menunggu untuk mengajukan pertanyaan lain. Akhirnya percakapan kami berakhir menyisakan pertanyaan, apa yang membuat orang lain di luar begitu optimis dengan masa depan kita ?
On The Right Track
Terlepas dari segala permasalahan yang ada, Indonesia saat ini sedang on the right track atau berada di jalur yang benar. Di bidang ekonomi bersama dengan China dan India, Indonesia memantapkan diri sebagai salah satu dari 3 negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Sebuah prestasi di kala perekonomian dunia merosot. Jepang misalnya sebagai raksasa ekonomi Asia kini mengalami defisit ekonomi terbesar sepanjang sejarah pasca perang dunia ke II. Kondisi tersebut membuat rakyat Jepang tidak percaya lagi pada LDP yang telah lama memimpin Jepang. Taiwan yang dulunya ‘ngeyel’ dengan China karena ekonominya yang lebih kuat kini tampak mulai dekat dengan Beijing karena memang butuh. Singapura dan Malaysia setali tiga uang, mereka sekilas tampak kuat tapi pertumbuhan ekonomi mereka saat ini minus.
Hebatnya lagi, pertumbuhan ekonomi tersebut bisa kita jaga tanpa ‘Asian Values’, sebuah nilai yang pernah kita terapkan selama 32 tahun. ‘Asian Values’ mensyaratkan sebuah sistem politik yang semi otoritarian untuk menjaga stabilitas ekonomi di suatu negara dengan caranya masing-masing. Sampai saat ini ‘Asian Values’ masih diterapkan oleh Malaysia dan Singapura, sementara di China melebur menjadi kapitalisme sosial. Indonesia berhasil menjaga pertumbuhan ekonominya sejalan dengan kematangan berdemokrasi. Semua itu dibangun hanya dalam semalam dalam istilah Jeffrey Sachs.
Perkembangan ini membuat para ekonom merevisi istilah BIRC dan Chindia sebagai pusat pertumbuhan dunia. Istilah BRIC (Brazil-Rusia-Indonesia-China) buatan Coleman pada awal tahun 2000-an kini berubah menjadi BRIICS (Brazil-Rusia-Indonesia-India-China-South Africa). Coleman sempat berkelakar kalau istilah baru ini lebih sulit diucapkan, tapi begitulah faktanya. Chindia sendiri yang menggambarkan China dan India sebagai raksasa ekonomi global sudah direvisi oleh Bloomberg dan sejumlah pakar menjadi Chindonesia yang berarti China, India dan Indonesia.
Tidak hanya di bidang ekonomi, Indonesia saat ini juga punya leadership yang mumpuni. Saya bukanlah anggota Partai Demokrat atau pengagum sosok SBY, tapi harus diakui bila kepemimpinannya sejauh ini cukup efektif. Di bulan Mei ketika menghadiri pertemuan ADB di Bali saya kaget membaca majalah Time. Baru kali ini majalah Time menganugrahkan pemimpin kita di ‘The World’s Most Influential People’. SBY ditempatkan di posisi ke sembilan disejajarkan dengan 20 pemimpin dunia lain seperi Barack Obama, Angela Merkel, Nicholas Sarkozy, Gordon Brown maupun Hillary Clinton.
Prestasi ini bukannya gratis, itu semua karena dunia memandang baik Indonesia. Kita tidak punya masalah HAM yang membelit seperti halnya masalah Timor Timur di masa lalu. Kita berhasil menyelesaikan masalah Aceh di Helsinki tanpa setetes darah pun yang tumpah. Konflik di Poso, Maluku, Papua berangsur-angsur menemui jalan terang. Kita juga pernah diterpa musibah bencana alam terbesar sepanjang sejarah, dan atas perlindungan Tuhan itu tidak membuat kita ambruk seketika, justru sebaliknya membuat kita belajar tentang bencana.
Pelan-pelan Otonomi Daerah juga ikut menunjukkan geliatnya. Isu transfer pelanggaran pusat ke daerah di balik pelaksanaan otonomi daerah sudah tak laku lagi dikonsumsi. Sekarang tiap-tiap daerah berlomba-lomba dengan inovasinya masing-masing. Gorontalo menjadi pionir pertumbuhan di timur sebagai provinsi jagung, berturut-turut disusul dengan Sragen sebagai kabupaten investasi, Solo sebagai kota yang ramah pada pedagang kecil, kota Yogyakarta dengan standar hidup yang tinggi dan sebagainya.
Di bidang militer anggaran militer kita memang tidak sebanyak Singapura sehingga tidak memungkinkan mempunyai alutsista yang ‘high end’,tapi kita patut berbangga karena pasukan elit kita menjadi yang ketiga terbaik di dunia di bawah pasukan Israel dan Amerika Serikat. Seandainya anggaran kita sudah membaik, tentunya pertahanan kita akan kembali disegani seperti di era 50-an.
Islam dan Demokrasi
Poin yang paling menarik sebenarnya adalah kita tidak perlu menjadi China untuk memantapkan pertumbuhan. Kita perlu bangga memiliki ‘Indonesian Way for Growth’.Negeri ini tidak perlu menjadi tangan besi dan mengekang kebebasan warganya untuk membangun hanya karena alasan menjaga stabilitas. Kita juga tidak perlu menjadi sosialis dan mengklaim bahwa agama adalah candu, karena toh Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia tidak merusak sendi-sendi kebangsaan.
Bahkan Islam dan demokrasi, suatu hal yang bagi sebagian kalangan merupakan kontradiksi, bisa berjalan bersamaan di negeri ini. Mengutip pernyataan Hillary Clinton dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa bulan lalu ia mengatakan,’bila ingin melihat Islam, demokrasi, dan penghargaan terhadap perempuan berjalan bersama dan saling mendukung, lihatlah Indonesia’. Di beberapa negara timur tengah, demokrasi adalah hal yang hampir mustahil. Apalagi soal hak-hak wanita, kebiasaan mereka dianggap menomorduakan perempuan sebagai second class citizen. 5 tahun lalu di Saudi Arabia, saya sendiri hampir tidak menyaksikan ada perempuan yang bekerja di luar rumah. Karena Islam diidentikkan dengan Arab, maka tradisi tadi direlasikan dengan Islam. Hadirlah stereotyping terhadap Islam di mata barat.
Beruntung selama di Beijing saya memiliki rekan dari Jerman dan Korea Selatan yang amat concern terhadap isu ini. Kami membentuk sebuah kelompok dan mempresentasikan kondisi Islam dan Demokrasi yang sebenarnya dengan contoh kasus di Indonesia. Rekan dari Jerman mengamanatkan saya untuk bercerita apa-adanya tentang Islam dan Demokrasi di Indonesia. Saya menjelaskan bahwa di Indonesia, Islam tidak menghalangi masyarakat untuk berdemokrasi. Islam juga membuka peluang bagi wanita-wanita terbaiknya untuk berkembang. Mereka memiliki hak ekonomi, intelektual bahkan politik. Audiens yang sebagian besar berasal dari Eropa akhirnya mengapresiasi kami. Bahkan teman dari Amerika Latin mengatakan kalau bangsa Arab yang seharusnya belajar dari Indonesia, bukan sebaliknya.