Rabu, 21 Januari 2009

Reposisi Otonomi Daerah : Belajar Dari China dan India

Dinamika Ilmu Administrasi Publik dan Kaitannya dengan Isu Desentralisasi dan Otonomi

Ilmu Administrasi Publik dari masa ke masa mengalami pergeseran paradigma untuk menjawab dinamika perubahan zaman. Dengan demikian olok-olok administrator publik adalah hanya sekitar ‘carik lurah’ atau ’pegawai tata usaha’ sudah tidak relevan lagi. Stigma tersebut bisa jadi karena di masa lalu ada pemisahan antara ranah politik dan administrasi atau yang kerap disebut sebagai dikotomi politik dan administrasi. When Politics End, Administration Began. Seorang administrator hanya berkecimpung pada level implementasi dan tidak memiliki kekuatan secara politis untuk mempengaruhi proses kebijakan kendatipun ia lebih memahami masalah ketimbang perumus kebijakan. Paradigma seperti ini bahkan masih diimplementasikan hingga saat ini walaupun Administrasi Publik sudah berkali-kali mengalami pergeseran paradigma.
Karenanyalah, Ilmu Administrasi Publik meluas dari sekedar ilmu manajemen yang mengerucut dalam Public Management menjadi ilmu kebijakan atau mencakup juga kebijakan publik. Keterlibatan Administrasi Publik tadi dalam proses kebijakan, membuat ilmu ini harus mampu merancang kebijakan yang strategis dan ampuh dalam rangka mewujudkan governance reform di Indonesia. Maka tantangan ilmu Administrasi Publik di Indonesia adalah menyelenggarakan governance reform terbesar di dunia selain yang telah dilaksanakan oleh Afrika Selatan. Governance reform di Indonesia dikatakan luas karena memiliki cakupan yang meliputi : penataan kelembagaan, desentralisasi, reformasi keuangan, dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kajian mengenai desentralisasi adalah yang menjadi perhatian utama. Desentralisasi yang diwujudkan oleh kebijakan otonomi daerah memerlukan perhatian karena di dalamnya menyangkut kebijakan mengenai hubungan pusat dan daerah, penataan sistem kelembagaan yang efisien dan optimal, dan yang paling penting adalah terjaminnya pelaksanaan good governance. Kesemua bidang itu adalah prasyarat bagi terjaminnya pelaksanaan otonomi daerah dan tentu saja menjadi tanggungjawab peminat ilmu Administrasi Publik.

Interaksi Politik yang Berlebihan Menjadi Ganjalan Bagi Governance Reform Di Indonesia
Kondisi politik Indonesia yang tak menentu dan cenderung berlebihan akibat interaksi politik yang mementingkan kekuasaan menjadi akar permasalahan bagi terganjalnya proses reformasi tata pemerintahan di Indonesia. Dari mulai konstitusi ( UUD 1945) ternyata sudah bermasalah, amandemen yang dilakukan selama ini cenderung tak memiliki konsep yang jelas. Tentu saja ketidakjelasan konsep ini pada akhirnya akan menimbulkan ketidakpastian.

Hal tersebut bisa dilihat dari kedudukan parlemen yang trikameral dengan adanya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), DPR dan MPR. MPR sendiri semakin kehilangan relevansinya dengan diadakannya pemilihan presiden langsung sehingga dianggap tidak lagi dianggap menjadi pemegang kedaulatan rakyat. Tidak mengherankan bila banyak pengamat yang mengusulkan agar MPR segera dibubarkan. Sistem trikameral ini merupakan anomali karena umumnya negara-negara di dunia saat ini hanya menganut sistem bikameral (two chambers). Begitu pula dengan lembaga yudikatif yang makin banyak walaupun fungsinya serupa seperti adanya lembaga Kejaksaan yang dilapisi oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Pun di tingkat eksekutif, proliferasi birokrasi terjadi di mana-mana. Birokrasi ditegakkan bukan karena komitmen untuk pelayanan atau profesionalisme tapi karena konsesi pada partai politik sebagai akibat dari terbentuknya pemerintahan koalisi. Ketika kabinet tidak lagi mencukupi untuk menampung kepentingan partai politik, dibentuklah komisi-komisi yang jumlahnya hingga mencapai 51 komisi.

Dengan demikian yang terjadi adalah pemborosan yang membebani anggaran negara. Terhamburnya uang negara tersebut membuat banyak pelayanan publik yang mestinya dimaksimalkan menjadi kering tanpa anggaran dan cenderung tak terbiayai. Akibatnya tentu saja pelayanan publik dan pelaksanaan governance menjadi terhambat oleh salah satu sebab tadi.

Data Governance Assesment Survey yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan UGM yang meliputi indikator berupa Voice and Accountability Democracy, Government Effectiveness, Rule of Law, Political Stability, Regulatory Quality, dan Control of Corruption menunjukkan semua indikator tidak mengalami kemajuan. Bahkan, tidak lebih baik daripada pemerintahan di zaman orde baru. Satu-satunya indikator yang lebih baik adalah Voice and Accountability Democracy.

Walaupun demikian, hal tersebut tidak berarti kualitas governance di saat ini benar-benar buruk melainkan reformasi masih membutuhkan waktu dan usaha peningkatan. Yang paling menentukan adalah keberadaan visionary leadership, seorang pemimpin dengan kualitas kepemimpinan yang punya visi dan karakter. Keberadaannya juga perlu didukung oleh lembaga yang loyal dan profesional seperti layaknya lembaga office of the president di Amerika Serikat.

Sayangnya, lagi-lagi visi ini dimentahkan oleh proses interaksi politik yang berlebihan. Patronase penyebabnya, eksekutif seperti menteri di kabinet misalnya cenderung lebih loyal pada parpolnya dibanding loyal pada profesionalisme atau menunjukkan loyalitas pada presiden yang mengemban amanat rakyat.



Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia Telah Berkembang namun Tanpa Kendali
Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah adalah lazim bagi Indonesia. Indonesia yang kompleks secara kultur, geografis dan historis membuat para pendirinya telah berpikir bahwa negeri ini tidak mungkin dipimpin secara sentralistis. Kebijakan otonomi daerah sendiri baru dilaksanakan di Indonesia sepenuhnya di era pemerintahan reformasi setelah selama 32 tahun berada di bawah pemerintahan yang mengutamakan politik penyeragaman.

Yang terakhir adalah dengan dilaksanakannya undang-undang no. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah yang bersemangatkan demokrasi. Sayangnya di lapangan, undang-undang tersebut memilki semangat demokrasi yang terlampau kuat dengan kendali yang minimalis. Akibatnya pemekaran wilayah terjadi di mana-mana dan cenderung berlebihan. Pelayanan publik juga menjadi kurang bermutu dan tidak merata.

Pemekaran ini banyak dilaksanakan karena pertimbangan politis bukan ekonomi maupun endowment. Fenomenanya banyak muncul kebupaten-kabupaten baru yang muncul namun sebenarnya belum memenuhi syarat sebagai daerah tingkat II. Banyak kabupaten yang hanya seukuran dua desa bila dibandingkan dengan daerah lain, akibatnya skala ekonomi di wilayah tersebut tidak pernah bisa terwujud. Ada daerah yang hanya berpenduduk 6.500 orang seperti di salah satu daerah di Maluku Utara. Bila demikian kecil daerah tingkat II tentu pelayanan publik menjadi sulit diwujudkan karena pemerintahan daerah baru tersebut tidak cukup memiliki pemasukan maupun resources. Akhirnya otonomi daerah hanya berjalan semu karena daerah tersebut tetap saja mengandalkan subsidi dari pusat sebagai pembiayaan penyelenggaraan pemerintahannya.



Mengapa kebijakan otonomi daerah menjadi begitu tak terkendali dan kehilangan orientasinya? Pertama, karena pemekaran daerah yang ada di era otonomi sekarang dikaitkan dengan sentimen etnis seperti yang terjadi di Papua. Padahal konsep pendirian kabupaten adalah didasari oleh konsep pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Kedua, pemekaran dan otonomi semata-mata diadakan untuk mengurangi sentimen disintegrasi dari NKRI. Alasan ini sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Ancaman disintegrasi ada bukan karena adanya otonomi atau tidak tapi masalah yang menyangkut keadilan. Wilayah-wilayah yang mengancam akan melakukan disintegrasi kebanyakan adalah akibat perlakuan yang tidak adil dari pusat seperti yang terjadi d Aceh dan Papua. Separatisme muncul bukan tanpa sebab.
Maka, bagaimana pilihan kebijakan yang terbaik agar masalah ini bisa terselesaikan ? Jawabannya adalah kebijakan two stage autonomy. Pendelegasian kewenangan, keuangan dan administratif perlu dilakukan di dua tingkat yakni propinsi dan kabupaten. Bila otonomi daerah hanya diletakkan di daerah tingkat dua atau kabupaten, kebijakan ini tidak bisa menciptakan kemakmuran karena pelayanan publik dan penciptaan lapangan pekerjaan mensyaratkan scale of economy, sumber daya alam, dan kapabilitas sumber daya manusia yang cukup tinggi.


Belajar dari Otonomi Daerah di Cina dan India
Cina dan India kini telah menjelma sebagai raksasa Asia di bidang ekonomi. Cina telah berhasil mengembangkan industri berbasis rumah tangga dan membuat pembangunan tidak hanya dinikmati di pantai timurnya yang ramai. Sekarang orang tidak hanya mengenal Shanghai, Beijing dan Guangzhou tapi mulai mendengar metropolitan baru seperti Chongqing dan Sanya di ujung selatan pulau Hainan. Pun dengan India, industri barang-barang semi konduktor, teknologi informasi dan bajanya menghasilkan orang sekaliber Lakshmi Mittal. Infrastruktur yang mulai merata berhasil memunculkan pusat perekonomian baru seperti Hyderabad, Bangalore dan Chennai. Sementara itu, Indonesia belum menunjukkan kemajuan yang signifikan secara ekonomi dibandingkan dua raksasa tadi.
Kebijakan ekonomi dan desentralisasi ternyata lebih mempengaruhi perekonomian suatu negara dibandingkan dengan bentuk negara. Jadi ekonomi Indonesia bukan tergantung pada wacana federal maupun NKRI sekalipun. Tidak ada jaminan bahwa dengan bentuk negara federal Indonesia menjadi maju ekonominya atau bahkan lebih buruk. Buktinya Cina dengan bentuk negara kesatuan yang totaliter mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Begitupun dengan India yang demokratis dengan bentuk pemerintahan federal.

Cina yang komunis dan totaliter ternyata sangat decentralized dalam kebijakannya. Desentralisasi yang dilakukan di Cina ternyata bukan by design atau terencana dengan matang melainkan karena keadaan yang menuntut demikian. Desentralisasi tersebut terjadi karena Beijing tidak punya cukup uang untuk daerah. Positifnya keleluasaan ini dimanfaatkan oleh pejabat daerah di Cina untuk mengembangkan potensinya masing-masing. Hal ini menimbulkan competitiveness dalam pembangunan. Kemudian dibareng dengan adanya dorongan bagi mereka yang prestasinya baik di kemudian hari akan diangkat ke jenjang karier lebih tinggi. Selain itu di Cina desentralisasi diselenggarakan pada unit pemerintahan yang lebih besar sehingga posisinya cukup mapan. Desentralisasi tersebut dibarengi dengan pemberian kewenangan yang cukup luas.

Di lain pihak India yang federal dan parlementer menyerahkan kewenangannya secara penuh pada masing-masing negara bagian selain urusan diplomatik, moneter dan keamanan. Kewenangan ini dimanfaatkan oleh negara-negara bagian untuk menarik minat investasi luar negeri sehingga mereka bisa tumbuh dengan sendirinya.

Pertanyaan kemudian muncul, mengapa desentralisasi mampu memantapkan perekonomian, menciptakan pemerintahan. Mengapa Indonesia tidak bisa mewujudkan seperti apa yang mereka capai ? tentu saja karena kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang salah arah karena meletakkannya pada skala pemerintahan yang kecil dengan skala ekonomi dan sumberdaya yang jauh lebih rendah. Rasio penduduk dan propinsi di Indonesia dibandingkan dengan Cina dan India secara gamblang menunjukkan hal tersebut.


Rekomendasi
Kebijakan desentralisasi sebenarnya merupakan kebijakan yang tepat untuk membangun bangsa secara ekonomi sekaligus menjaga keutuhannya. Namun untuk mewujudkannya pemerintah Indonesia perlu melakukan reorientasi desentralisasi dengan model baru agar lebih jelas yakni dengan mengadopsi sistem two stages autonomy.

Dalam perjalanannya, kebijakan saja tidak cukup untuk menjamin keberhasilannya. Kualitas birokrasi sebagai tulang punggung pemerintahan sangat menentukan. Hal ini sebenarnya cukup sulit karena administrative reform di Indonesia tidak berjalan dengan baik. Karenanya dibutuhkan pemikiran segar dan inovasi untuk memperbaikinya. Kita tidak boleh hanya berkutat pada birokrasi versi Weberian yang digagas ketika revolusi industri karena pada saat ini kita telah mencapai information age.


Diringkas dari pidato ilmiah awal semester oleh Prof Dr Sofian Effendi, MPIA
Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar