Sabtu, 26 September 2009

Stories From Sinoland Part 3 : Kita Tidak Lagi di Belakang


Apa yang membuat saya resah terhadap bangsa ini sekarang bukanlah karena bencana alam, korupsi, konspirasi pelemahan sebuah lembaga , konflik Indonesia- Malaysia atau semua masalah bangsa yang terpapar tiap pagi dengan hangatnya di koran; tapi justru bagaimana sebagian besar kita yang tidak sadar dengan arah bangsa ini. Kita tidak pernah menyadari bahwa Indonesia sedang on the right track, menapak menuju sebuah bangsa besar yang disegani. Sebuah bangsa yang akan memiliki peran kepemimpinan dalam pergaulan internasional dalam dekade mendatang.

Lalu apa masalahnya ? di level individual dengan kondisi seperti ini kita seperti tidak punya energi positif untuk memandang diri kita sendiri sebagai bagian dari sebuah bangsa yang besar. Kita selalu terjebak dalam apa yang disebut oleh Dr. Dino Patti Jalal sebagai ‘culture of cynicism’ pada negeri sendiri. Energi negatif ini membuat kita kalah sebelum bertanding karena malas mencari solusi dan meraih target hanya karena putus asa memandang Indonesia dengan berbagai masalahnya yang tak kunjung usai. Lebih parah lagi, budaya sinisme membuat orang tidak percaya diri, hanya meratapi nasib dan dirundung self doubt. Sudah terlalu lama kita kehilangan kebanggaan pada negeri ini dan keadaan ini membuat kita terjebak dalam lingkaran setan pesimisme. Sangat penting untuk membangkitkan kembali ‘need for achievement’ ala Mclelland di Indonesia.

Percakapan Dengan Profesor Cox

Cerita berawal di Beijing dalam sebuah percakapan yang tidak akan terlupakan selama hidup. Suatu siang saya menyapa Profesor Michael Cox dosen kami, seorang pakar Ilmu Politik dari The London School of Economics and Political Science (LSE). Beliau adalah sosok profesor terbaik yang pernah saya temui, tidak hanya dari kapabilitasnya tapi juga dari personalitynya. Kalau beliau pintar itu wajar tapi beliau adalah sosok yang ramah, open minded dan hebatnya walaupun tampak seperti kakek kami namun beliau tahu benar cara bergaul dengan anak muda. Dengan santainya beliau mengajar dengan bercelana pendek plus kaos polo hampir setiap hari, mengajak kami makan siang bersama dan melakukan pendekatan personal. Di setiap kesempatan seperti makan siang, kami sulit melupakan candanya yang membuat suasana selalu segar.

Di siang itu saya bertanya pada beliau tentang regionalisme ASEAN dan pengaruhnya bagi masa depan Indonesia. Dengan lugas beliau mengapresiasi ASEAN. Bagi beliau ASEAN adalah ASEAN, yang artinya ASEAN tidak perlu jadi Uni Eropa untuk menjadi ideal. Satu-satunya masalah bagi ASEAN adalah Myanmar dan bagi Profesor Cox kasus Myanmar sangat memalukan.

Tapi bukan itu poin percakapan kami, sesaat kemudian beliau mengaitkannya dengan Indonesia. Menurut beliau, tanpa ASEAN pun Indonesia akan menjadi sebuah negara besar dalam waktu dekat. Saya terhenyak dengan pernyataan ini. Saya yakin Profesor Cox tidak bermaksud menafikan peran ASEAN, beliau lebih pada posisi mengisyaratkan optimisme masa depan Indonesia sebagai sebuah negara besar yang mandiri. Sayangnya kami terlalu lama bercakap-cakap dan teman-teman lain menunggu untuk mengajukan pertanyaan lain. Akhirnya percakapan kami berakhir menyisakan pertanyaan, apa yang membuat orang lain di luar begitu optimis dengan masa depan kita ?


On The Right Track

Terlepas dari segala permasalahan yang ada, Indonesia saat ini sedang on the right track atau berada di jalur yang benar. Di bidang ekonomi bersama dengan China dan India, Indonesia memantapkan diri sebagai salah satu dari 3 negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Sebuah prestasi di kala perekonomian dunia merosot. Jepang misalnya sebagai raksasa ekonomi Asia kini mengalami defisit ekonomi terbesar sepanjang sejarah pasca perang dunia ke II. Kondisi tersebut membuat rakyat Jepang tidak percaya lagi pada LDP yang telah lama memimpin Jepang. Taiwan yang dulunya ‘ngeyel’ dengan China karena ekonominya yang lebih kuat kini tampak mulai dekat dengan Beijing karena memang butuh. Singapura dan Malaysia setali tiga uang, mereka sekilas tampak kuat tapi pertumbuhan ekonomi mereka saat ini minus.

Hebatnya lagi, pertumbuhan ekonomi tersebut bisa kita jaga tanpa ‘Asian Values’, sebuah nilai yang pernah kita terapkan selama 32 tahun. ‘Asian Values’ mensyaratkan sebuah sistem politik yang semi otoritarian untuk menjaga stabilitas ekonomi di suatu negara dengan caranya masing-masing. Sampai saat ini ‘Asian Values’ masih diterapkan oleh Malaysia dan Singapura, sementara di China melebur menjadi kapitalisme sosial. Indonesia berhasil menjaga pertumbuhan ekonominya sejalan dengan kematangan berdemokrasi. Semua itu dibangun hanya dalam semalam dalam istilah Jeffrey Sachs.

Perkembangan ini membuat para ekonom merevisi istilah BIRC dan Chindia sebagai pusat pertumbuhan dunia. Istilah BRIC (Brazil-Rusia-Indonesia-China) buatan Coleman pada awal tahun 2000-an kini berubah menjadi BRIICS (Brazil-Rusia-Indonesia-India-China-South Africa). Coleman sempat berkelakar kalau istilah baru ini lebih sulit diucapkan, tapi begitulah faktanya. Chindia sendiri yang menggambarkan China dan India sebagai raksasa ekonomi global sudah direvisi oleh Bloomberg dan sejumlah pakar menjadi Chindonesia yang berarti China, India dan Indonesia.

Tidak hanya di bidang ekonomi, Indonesia saat ini juga punya leadership yang mumpuni. Saya bukanlah anggota Partai Demokrat atau pengagum sosok SBY, tapi harus diakui bila kepemimpinannya sejauh ini cukup efektif. Di bulan Mei ketika menghadiri pertemuan ADB di Bali saya kaget membaca majalah Time. Baru kali ini majalah Time menganugrahkan pemimpin kita di ‘The World’s Most Influential People’. SBY ditempatkan di posisi ke sembilan disejajarkan dengan 20 pemimpin dunia lain seperi Barack Obama, Angela Merkel, Nicholas Sarkozy, Gordon Brown maupun Hillary Clinton.

Prestasi ini bukannya gratis, itu semua karena dunia memandang baik Indonesia. Kita tidak punya masalah HAM yang membelit seperti halnya masalah Timor Timur di masa lalu. Kita berhasil menyelesaikan masalah Aceh di Helsinki tanpa setetes darah pun yang tumpah. Konflik di Poso, Maluku, Papua berangsur-angsur menemui jalan terang. Kita juga pernah diterpa musibah bencana alam terbesar sepanjang sejarah, dan atas perlindungan Tuhan itu tidak membuat kita ambruk seketika, justru sebaliknya membuat kita belajar tentang bencana.

Pelan-pelan Otonomi Daerah juga ikut menunjukkan geliatnya. Isu transfer pelanggaran pusat ke daerah di balik pelaksanaan otonomi daerah sudah tak laku lagi dikonsumsi. Sekarang tiap-tiap daerah berlomba-lomba dengan inovasinya masing-masing. Gorontalo menjadi pionir pertumbuhan di timur sebagai provinsi jagung, berturut-turut disusul dengan Sragen sebagai kabupaten investasi, Solo sebagai kota yang ramah pada pedagang kecil, kota Yogyakarta dengan standar hidup yang tinggi dan sebagainya.

Di bidang militer anggaran militer kita memang tidak sebanyak Singapura sehingga tidak memungkinkan mempunyai alutsista yang ‘high end’,tapi kita patut berbangga karena pasukan elit kita menjadi yang ketiga terbaik di dunia di bawah pasukan Israel dan Amerika Serikat. Seandainya anggaran kita sudah membaik, tentunya pertahanan kita akan kembali disegani seperti di era 50-an.

Islam dan Demokrasi

Poin yang paling menarik sebenarnya adalah kita tidak perlu menjadi China untuk memantapkan pertumbuhan. Kita perlu bangga memiliki ‘Indonesian Way for Growth’.Negeri ini tidak perlu menjadi tangan besi dan mengekang kebebasan warganya untuk membangun hanya karena alasan menjaga stabilitas. Kita juga tidak perlu menjadi sosialis dan mengklaim bahwa agama adalah candu, karena toh Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia tidak merusak sendi-sendi kebangsaan.

Bahkan Islam dan demokrasi, suatu hal yang bagi sebagian kalangan merupakan kontradiksi, bisa berjalan bersamaan di negeri ini. Mengutip pernyataan Hillary Clinton dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa bulan lalu ia mengatakan,’bila ingin melihat Islam, demokrasi, dan penghargaan terhadap perempuan berjalan bersama dan saling mendukung, lihatlah Indonesia’. Di beberapa negara timur tengah, demokrasi adalah hal yang hampir mustahil. Apalagi soal hak-hak wanita, kebiasaan mereka dianggap menomorduakan perempuan sebagai second class citizen. 5 tahun lalu di Saudi Arabia, saya sendiri hampir tidak menyaksikan ada perempuan yang bekerja di luar rumah. Karena Islam diidentikkan dengan Arab, maka tradisi tadi direlasikan dengan Islam. Hadirlah stereotyping terhadap Islam di mata barat.

Beruntung selama di Beijing saya memiliki rekan dari Jerman dan Korea Selatan yang amat concern terhadap isu ini. Kami membentuk sebuah kelompok dan mempresentasikan kondisi Islam dan Demokrasi yang sebenarnya dengan contoh kasus di Indonesia. Rekan dari Jerman mengamanatkan saya untuk bercerita apa-adanya tentang Islam dan Demokrasi di Indonesia. Saya menjelaskan bahwa di Indonesia, Islam tidak menghalangi masyarakat untuk berdemokrasi. Islam juga membuka peluang bagi wanita-wanita terbaiknya untuk berkembang. Mereka memiliki hak ekonomi, intelektual bahkan politik. Audiens yang sebagian besar berasal dari Eropa akhirnya mengapresiasi kami. Bahkan teman dari Amerika Latin mengatakan kalau bangsa Arab yang seharusnya belajar dari Indonesia, bukan sebaliknya.

Kamis, 24 September 2009

Stories From Sinoland Part 2 : Puasa Facebook


China hampir saja sempurna di mata saya kalau saja pemerintah negeri ini tidak memaksa saya berpuasa facebook. Ketika sedang berada di luar negeri, Facebook biasa menjadi setengah nyawa saya untuk berhubungan dengan kolega di tanah air. Karena selain lebih murah dibandingkan telepon, Facebook menjadi pelarian untuk ngobrol dalam bahasa Indonesia. Selama berada di Beijing saya harus ikhlas menerima kalau saya sebatang kara, satu-satunya mahasiswa Indonesia dalam program mereka.

Tidak cuma facebook, saya juga harus rela terlambat tahu video kontroversial Marshanda heboh menyanyikan lagu Christina Aguilera karena youtube diblok. Berturut-turut termasuk diantaranya twitter, blogspot, wordpress dan beberapa media barat. Tapi akhirnya saya masih bisa bernapas lega waktu mencoba Yahoo Messenger dan ternyata masih lancar jaya. Saya pun kemudian dibuat geli sendiri karena harus kembali ke zaman Friendster, entah kenapa Friendster masih boleh digunakan. Mungkin sudah sampai laporannya ke Pemerintah China kalau para netter sudah lama berbondong-bondong eksodus meninggalkan Friendster.

Beragam opini muncul soal kenapa pemerintah China begitu keras terhadap situs-situs tersebut. Kebijakan ini sangat terkenal disebut dengan ‘The Great Firewall of China’, plesetan dari kata-kata ‘The Greatwall of China’.

Argumen yang paling mengemuka adalah soal kebebasan berpendapat. China membatasi segala kemungkinan bagi masyarakat memposting sesuatu untuk menentang pemerintah. China belajar betul dari Iran ketika remaja mereka menyuarakan ke seluruh dunia berbagai masalah seputar pemilihan presiden lewat Facebook dan Twitter. Di masa itu Iran segera bereaksi dengan menutup situs-situs tersebut. Peristiwa di Iran kemudian dijadikan pelajaran bagi China ketika terjadi kerusuhan di Xinjiang di awal bulan Juli 2009. China khawatir remaja di Xinjiang akan menggunakan media yang sama untuk melawan pemerintah. Apalagi sebulan sebelum itu tepat 20 tahun Tragedi Tiananmen. Pemerintah tidak ingin isu peringatan tragedi tiananmen mencuat di dunia maya.

Alasan kedua agak terlihat konyol memang. CCTV (stasiun televisi pemerintah China) memberitakan kalau pembatasan ini untuk melindungi generasi muda China dari penyakit ketagihan internet. Ingat-ingat saja lirik lagu Saykoji yang berjudul online dan renungkan sendiri apakah argumen ini masuk akal atau tidak.

Saya pribadi bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya opini generasi muda mereka dalam kasus ini. Apakah mereka memang tidak pernah terakses facebook, atau memang mereka tidak peduli? Saya memberanikan diri bertanya.

Hasilnya cukup mencengangkan, generasi muda China ternyata punya facebook mereka sendiri bermerk Xiao Nei. Xiao Nei benar-benar mirip dengan Facebook dari segi fitur dan penampilan, bedanya Xiao Nei tidak punya fasilitas bahasa lain selain Mandarin, tidak seperti facebook dengan puluhan bahasanya. Situs ini sendiri sangat populer, buktinya ritel sekelas KFC dan Coca Cola ikut menjadi salah satu sponsornya. Xiao Nei tampaknya mendapat dukungan pemerintah karena server mereka bersifat lokal sehingga mudah saja untuk dikontrol. Namun bagi sebagian remaja China, Xiao Nei tetap tidak bisa menggantikan Facebook karena Xiao Nei tidak memungkinkan membernya untuk berhubungan dengan orang lain di luar negeri. Mereka akhirnya tetap menggunakan facebook. Ada banyak cara untuk menembus facebook di China, bisa menggunakan proxy atau program kecil yang membuat usernya seakan-akan berada di luar China.

Bagi kita orang Indonesia, setidaknya harus bersyukur karena masih bisa mengakses dan memposting apapun di dunia maya. Indonesia saat ini merupakan satu-satunya negara dengan predikat ‘free’ soal kebebasan berpendapat di ASEAN versi Freedom House. Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina masih berpredikat ‘partly free’ dan yang paling bawah adalah Myanmar dengan ‘not free’. Soal China, anda bisa menebak sendiri predikat mereka.

Rabu, 23 September 2009

Stories From Sinoland Part 1 : Dongeng Keajaiban China


Malam itu, pesawat Cathay Pacific CX 318 yang membawa saya dari Hong Kong merapat di Beijing Capital International Airport (BCIA) Beijing. Dilihat dari dalam pesawat,BCIA tampak tak seramai Chek Lap Kok di Hong Kong atau Changi Airport. Tidak begitu bervariasi maskapai internasional yang mendarat di BCIA namun terlihat jelas beberapa armada maskapai lokal China yang belum pernah saya dengar namanya : China Eastern Airlines, Hainan Airlines, Sichuan Airlines dan beberapa lainnya yang sulit diingat. Begitu belalai dijulurkan ke pintu Airbus 330-300 yang saya tumpangi, saya baru sadar kalau ada yang luar biasa di BCIA.

Bandara itu begitu megah, desainnya sangat tidak biasa, berstruktur seperti naga yang gemuk dengan perpaduan bentuk modern dan warna merah khas China. Ukurannya luar biasa, bisa dikatakan jauh lebih besar daripada Changi, Hong Kong atau Sydney Airport. Untuk berpindah dari satu terminal ke terminal yang lain, disediakan kereta cepat mirip seperti di Changi bahkan lebih futuristik. Belakangan saya baru menyadari bahwa BCIA adalah bandara terbesar di dunia yang dibangun khusus untuk olimpiade Beijing. Tidak berhenti di situ kekaguman pada BCIA, selain didukung oleh infrastruktur yang sangat memadai, pelayanan di BCIA bisa dikatakan sempurna. Petugas mereka sangat cekatan dan ramah walaupun bahasa Inggrisnya tidak sebaik kolega mereka di Hong Kong. Di tiap-tiap pos pelayanan disediakan 4 tombol yang bisa dimanfaatkan oleh pengguna layanan untuk mengekspresikan kepuasan pada pelayanan yang diberikan petugas. Ada tombol Excellent, Good, Fair dan Poor. Penilaian ini tidak main-main, persepsi yang diberikan pengguna layanan sangat berpengaruh pada promosi jabatan petugas. Jangan bandingkan dengan pelayan publik kita yang diukur dengan golongan, hasilnya pintar goblok pun sama saja alias PGPS.

Pemerintah China tampaknya sadar betul bahwa bandara mereka tidak hanya berfungsi sebagai gerbang masuk ke sebuah negara, lebih dari itu sebagai pemberi kesan pertama yang baik sekaligus penegasan bahwa keajaiban China itu nyata. Kedigdayaan China seperti yang diceritakan dalam buku James Kynge atau Ted Fishman bukanlah sebuah dongeng. China sudah tumbuh lebih dari 10 % selama 30 tahun terakhir semenjak Deng Xiaoping membuka pantai timur China bagi perdagangan bebas. Komunisme yang ada sekarang bukan lagi komunisme di masa Mao dengan slogan ‘sama rata sama rasa’ tapi berbalik dengan slogan baru ‘to be rich is glorious’. China memang masih memegang erat komunisme namun semua itu semata-mata hanya untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonominya. Kepalanya Komunis, tapi perutnya kapitalis. Kalau masih hidup, mungkin Karl Marx kaget begitu tahu konsepnya diobrak-abrik oleh pelaku sejarah China.

Dari bandara BCIA, tidak perlu bingung mencari tumpangan. Cukup sediakan 30 Yuan (sekitar Rp 45.000,-) ada kereta Airport Express yang sangat modern, berkecepatan lebih dari 100 km/jam yang siap membawa kita ke pusat kota hanya dalam 20 menit. Di Dongzhimen (pusat kota) kereta ini terhubung dengan 13 line subway ke seluruh penjuru Beijing hanya dengan 2 Yuan (Rp 3.000) sekali jalan. Jangan juga bandingkan Beijing Subway dengan KRL yang ada di Jakarta. Beberapa teman dari Singapura bahkan berani mengklaim kalau Beijing Subway lebih baik daripada MRT Singapura. Beijing Subway sendiri cukup nyaman dengan AC dan keamanan yang sangat ketat. Untuk memasuki stasiun saja ada pemeriksaan persis seperti di airport. Semua bawaan harus lewat scanning petugas. Agak makan waktu memang, tapi untuk keamanan apalagi kalau mengingat kejadian di London, prosedur ini tidak berlebihan. Untuk urusan ketepatan waktu, di Beijing tiap kereta datang tepat setiap 3-5 menit sekali jadi tidak ada kata menunggu lama.

Apa yang luar biasa dari Beijing Subway ? tentunya komitmen pemerintah untuk mengembangkan transportasi publik yang baik. Tiap line dibangun hanya dalam 2-3 tahun saja dan dilanjutkan terus menerus tanpa menurunkan kualitas pelayanan yang sudah ada. Di Jakarta, butuh minimal 90 bulan untuk membangun 1 line MRT. Tidak hanya di Beijing, subway sudah menjadi angkutan sehari-hari di kota-kota lain seperti Shanghai, Shenzen, Wuhan, Chongqing, Nanjing, Guangzhou dan Tianjin.
Sampai di tengah kota, saya dibuat terhenyak dengan kondisi Beijing. Beijing dalam benak saya hanyalah lapangan Tiananmen dengan bangunan-bangunan tua disekitarnya. Ternyata saya salah, Beijing begitu metropolis. Beijing punya motto ‘everday’s changing’, selalu ada perubahan setiap hari. Beijing yang sekarang pastinya akan sangat berbeda di tahun depan. Sekarang saja gedung-gedung pencakar langit merayap hingga sudut-sudut kota. Masyarakat tidak lagi tinggal di rumah, mereka seperti kehabisan lahan sehingga tinggal di apartemen. Mobil-mobil yang berlalu lalang hampir semuanya kelihatan baru. Maklum saja, pertumbuhan orang kaya di China masih yang teratas di dunia sekarang. Selain itu, pemerintah telah menyingkirkan 40% mobil-mobil tua dan melarang sepeda motor untuk menjaga kualitas udara kota Beijing.

Saya sendiri tinggal di sebuah flat tepat di tengah Zhongguancun, seberang Peking University tempat saya belajar. Zhongguancun adalah Silicon Valleynya China, zona pusat pengembangan dan perdagangan IT. Setiap hari saya menyaksikan bagaimana laptop dengan berbagai merk global diperdagangkan hanya dengan mengendarai sepeda dan MP4 player dijajakan di pinggir jalan. Itu juga pertama kalinya saya tahu ada gadget khusus MP5. Tiap melintas perkantoran Zhongguancun sudah barang biasa saya kecele melihat banyak bule yang ternyata bukanlah wisatawan. Mereka adalah ekspatriat dari Amerika atau Eropa yang mengadu nasib di China. Semenjak perekonomian barat menurun dan lapangan pekerjaan tidak lagi mudah dicari di negara maju, kini China menjadi sasaran lulusan universitas terkemuka dunia. Dengan pertumbuhan ekonomi dua digit, pasar tenaga kerja di China terus berkembang pesat dengan tawaran pendapatan yang jauh di atas kebutuhan hidup sehari-hari. Di China, mudah sekali ditemukan kios yang menjual makanan berat hanya dengan 6 Yuan (Rp 9.000). Bandingkan dengan di negara maju, untuk membeli air mineral saja minimal harus merogoh $ 2.

Dari kesemua sisi fisik seperti infrastruktur pembangunan, China sudah layak disebut negara maju. Beberapa fasilitasnya bahkan lebih baik dari Singapura ataupun Australia. Jembatan, Bandara, Jalan Tol, dan segala infrastruktur terbaik di muka bumi ada di China. Tidak heran bila rakyat China kini menikmati kesejahteraan berlipat ganda jauh bila dibandingkan dengan 20 tahun lalu. Inilah keajaiban China. Namun bukan berarti China sudah layak disebut negara maju. Dilihat dari mentalitas penduduknya, China tak ubahnya seperti Indonesia. Soal kebersihan dan ketertiban, China masih jauh dibelakang. Orang masih bebas merokok di mana saja, bahkan di kampus dan tempat-tempat umum. Seperti di India, memencet klakson sekeras-kerasnya sambil mengemudikan kendaraan dengan tergesa-gesa adalah keseharian. Sampah juga masih berserakan di tempat-tempat umum. Maklum saja, Roma tidak dibangun dalam sehari. Menyelaraskan antara keajaiban materil dan mentalitas bukanlah pekerjaan mudah.

Selasa, 12 Mei 2009

Mencicipi Pantai-pantai Virgin di Bali



Pantai Geger (atas)





Pantai Padang-padang (atas) dan Pantai Uluwatu (bawah)




Namanya wisata, umumnya yang dicari adalah 3S : see, sun and s.. hihihi maaf yang terakhir itu ga bisa saya sebut . Well, kalo kita inget Bali pastinya wisata ‘Sun’ adalah yang termasyhur. ‘Bali punya gorgeus landscape ’, begitu puji SBY di pembukaan ADB Annual Meeting yang disambut riuh seluruh audiens. Pastinya, kalimat tadi merefer ke puluhan pantai yang dimiliki Bali. Sudah barang biasa kita dengar nama-nama pantai seperti Kuta, Sanur, Nusa Dua atau Jimbaran. Harus diakui keindahan pantai-pantai tadi memang masih legendaris, tapi keramaiannya itu yang membuat wisatawan kadang mencari pantai lain yang punya taste ketenangan dan alam yang masih perawan. Di selatan Bali, sekitar 20 km dari bandara Ngurah Rai kita bisa temukan keunikan ini. Cobalah kunjungi pantai Geger, Uluwatu atau Padang-padang.

Pantai Geger berlokasi di wilayah Nusa Dua. Tinggal belok kanan di perempatan akhir jalur By Pass Ngurah Rai, Pantai Geger bisa ditempuh 10 menit dari jalur tersebut dengan mobil pribadi atau motor. Nggak seperti pantai-pantai di Jawa yang selalu pasang tarif untuk dikunjungi, pantai-pantai Bali terkenal gratisan. Kita cukup menyediakan kocek Rp 1.000,- untuk parkir atau tidak perlu sama sekali karena banyak juga yang tidak ada penjaga parkirnya. Begitu juga dengan pantai Geger, konsepnya all you can eat (dalam bahasa saya he2) soalnya kita bisa menikmati keindahannya sepuasnya, sepi dan gratis-tis. Ketenangan di Pantai Geger dijamin, nggak ada turis sama sekali di pantai ini karena sepertinya potensi yang dimiliki belum begitu diekspos.

Di awal memasuki kawasan pantai Geger kita akan disambut oleh lahan parkir yang cukup luas tapi belum terkelola, ditambah lagi dengan sebuah resto seafood yang agak sepi. Untuk turun ke pantai harus melewati semak belukar yang agak tinggi. Tapi jangan khawatir karena semak-semak ini nggak terlalu luas. Di akhir semak-semak tadi kita akan menemui tangga kecil ke arah bawah untuk melintasi batu karang dan akhirnya sampai ke pasir putih pantai ini. Keindahannya terasa betul karena susunan batu karang didukung dengan pasir putih yang landai terlihat begitu kompak dengan permukaan laut yang berwarna kebiruan. Apalagi ditambah dengan suasana tenangnya, membuat kita lupa sejenak akan kepenatan hidup di kota. Sayangnya bila mengunjungi tempat ini agak sore, ombaknya begitu besar sehingga tidak bisa dinikmati untuk berenang.

Pantai selanjutnya adalah pantai Padang-padang dan Uluwatu. Jalur ke pantai ini bisa melewati By Pass Ngurah Rai ke arah Universitas Udayana atau lewat jalur Jimbaran. Kedua jalur tersebut mengarah pada sebuah bukit kapur di jalan raya Uluwatu. Di hulu jalan tersebut banyak sekali terdapat resor-resor terkenal dan melewati kawasan Garuda Wisnu Kencana Cultural Park tentunya. Berjalan terus ke arah timur setelah kawasan resor Pecatu, akan banyak ditemui homestay-homestay dan sejumlah resto sederhana yang menawarkan makanan bercita rasa internasional. Nah di sekitar sinilah letak pantai Padang-padang. Keindahannya sudah terlihat dari atas jembatan yang kita lewati (lihat foto). Memasuki pantai ini, kita disambut oleh pura kecil yang eksotis karena menghadap langsung ke pantai dari atas ketinggian bukit. Setelah itu kita harus melintasi celah kecil yang terbentuk dari batu karang. Pantainya sendiri sangat landai dan pasirnya begitu putih. Namun air laut disini menjadi daya tarik utama karena jernih dan sangat kondusif untuk berenang. Bagi yang mau mencoba surfing, disinilah tempatnya. Nggak perlu capek mengayuh ke tengah laut untuk mencari ombak, di sini ada beberapa nelayan yang menawarkan jasanya untuk membawa kita ke tengah laut.

Pantai yang terakhir adalah pantai Uluwatu. Jarak antara pantai Padang-padang dengan Uluwatu tidak begitu jauh. Estimasi saya mungkin sekitar 5 km. Nah disinilah tempat terbaik untuk surfing, ombaknya begitu stabil bahkan sampai menjelang malam. Mau berenang, kejernihan pantai ini nggak kalah dengan pantai padang-padang. Batu-batu koralnya yang menyembul diantara jernihnya air juga cocok banget buat foto-foto pre wedding hehehe. Untuk berjemur? Jangan tanya, disinilah saya terkaget-kaget menemukan puluhan bule asyik sunbathing tanpa selembar benang pun. Rasanya nggak seperti di Indonesia lagi yang punya RUU Pornografi. Yeah, siapa yang ngelarang. ‘Ini Bali, bung’, kata teman saya yang besar di Bali.

Sabtu, 09 Mei 2009

Stop Pay Pleace For Parkking

Gambar ini didapat di parkiran pantai uluwatu. coba baca baik-baik..
STOP PAY PLEACE >> ini artinya 'silakan berhenti untuk membayar bukan?'
++ PARKKING
++ TO GO SURF BEACH
++ WE ORGANICE STREET

hehehehe

Jumat, 08 Mei 2009

Terdampar di 42nd ADB Annual Meeting



Ga nyangka, waktu buka email UGM hari itu saya menerima undangan dari ADB untuk menghadiri sebuah acara prestisius. Yup, itu dia ADB (Asian Development Bank) Annual Meeting yang diselenggarakan di Bali International Convention Center (BICC), Westin Hotel and Resort, Nusa Dua Bali. Acara ini dihadiri oleh sekitar dua ribu peserta dari 67 negara anggota dengan agenda berupa sidang tahunan, seminar, eksebisi, presentasi negara-negara anggota dan diskusi panel. Tanpa pikir panjang, saya langsung arrange perjalanan ke Bali. Untungnya waktu itu Mandala Airlines sedang berulang tahun ke 40. Ada 40 ribu seat gratis dan saya beruntung mendapatkannya sehingga cost perjalanan bisa ditekan sampai 50%.

Acara ini sebenarnya dimulai tanggal 2 Mei 2009, tapi karena saya harus menghadiri pembekalan KKN yang tidak bermutu itu, mau nggak mau tanggal 2 malam saya baru berangkat ke Bali. Keesokan harinya tanggal 3 pagi saya bergegas ke BICC untuk registrasi. Proses registrasinya berlangsung cepat, hanya perlu menyerahkan nomor ID yang tercantum dalam undangan untuk ditukar dengan sebuah map. Dalam map tersebut telah dicantumkan identitas dan foto kita. Map berisikan schedule of events, handbook dan beberapa kupon untuk mendapatkan fasilitas konferensi. Selain itu saya juga menerima sebuah ID Card.

Dengan ID Card digenggaman, saya menuju pintu masuk BICC. Ada beberapa pemeriksaan ketat yang terkesan lebai di sana. Backpack hitam manis saya digeledah habis-habisan lalu discan persis seperti prosedur di bandara. Lolos proses screening barang bawaan, saya lalu menapakkan diri ke pintu masuk. Agak aneh juga (atau emang saya yang ndeso hehehe), ID card yang tanpa barcode tadi ternyata sudah dilengkapi semacam face detection. Tanpa harus menyodorkan ID card, begitu masuk alat pemindai langsung mengeluarkan gambar wajah dan identitas saya..waaah saya ganteng juga ya ternyata..ha..ha..ha
Begitu berada di dalam BICC, culture shock kumat. Gimana nggak? Saya hampir nggak ngeliat manusia sepantaran karena keliatannya saya paling muda. Selain itu, BICC keliatan crowded banget sama bule-bule yang tampangnya intelek abis, beda banget sama bule yang saya liat di Kuta. Sempet ngerasa juga, ini ga seperti acaranya ADB yang asian tapi malah OECD yang anggotanya lebih banyak Eropa.


Tapi shock itu nggak berjalan lama, saya langsung duduk sejenak menenangkan diri untuk membaca handbook. Yeah, it works. Handbook yang diberikan panitia ADB Annual Meeting sangat membantu. Saya bisa menuju tempat-tempat konferensi dan fasilitas yang ada tanpa nyasar di tengah BICC yang luas banget. Dengan handbook tadi saya bisa nyari tempat-tempat yang cozy buat mengisi pergantian sesi. Tempat favorit saya adalah internet center pastinya,,

Dari 5 hari penyelenggaraan, banyak hal yang saya dapat. Ilmu dan wacana baru tentang pembangunan jelas didapat, tapi saya nggak akan bahas disini karena highlightnya bisa dibaca di situs ADB. Soal miliu internasional, ini yang menarik. Saya sempat berkenalan rekan mahasiswa dari Uzbekistan, Australia, Jepang dan China. Mereka mengajak saya berdiskusi banyak soal pembangunan dan sharing tentang kondisi di masing-masing negara. Dari kesempatan tersebut umumnya mereka memandang positif Indonesia dari sisi ekonomi maupun politik. Saya paling tertarik dengan rekan dari Uzbekistan karena negara ini jarang dibahas di dunia internasional. Ia juga sempat membawa saya ke stand negaranya dan memberikan buku panduan investasi dan pariwisata di negara itu. Waah, kapan ya bisa kesana....

Overall acara ini luar biasa, karena dari segi penyelenggaraan hampir tidak ada cacat. Acara-acara pendukung seperti cultural events yang diselenggarakan di kawasan patung Garuda Wisnu Kencana berjalan menarik karena dihadiri oleh artis sekelas Krisdayanti dan Ita Purnamasari. Penampilan Bapak Anggito Abimanyu (mantan petinggi PT TELKOM yang kini kepala Badan Kebijakan Fiskal Depkeu) sebagai pemain flute sungguh tidak disangka-sangka. Even budaya juga ditampilkan saat pembukaan yang dihadiri oleh Presiden SBY dan presiden ADB Haruhiko Kuroda. Acara tersebut mendapat sambutan hangat dari seluruh peserta.



Minggu, 12 April 2009

The Power Of Facebook : Antara The New Public Sphere Dan Pergeseran Sosok Masyarakat


Sejak diluncurkan oleh Mark Zuckerberg pada tahun 2004, facebook menjelma menjadi sebuah situs pertemanan yang fenomenal. Pertumbuhannya luar biasa, hampir di setiap negara situs ini menduduki urutan teratas. Di Asia perlahan tapi pasti facebook menggeser dominasi Friendster. Di dunia arab bahkan, sebuah dunia yang dikenal akrab dengan ‘privacy’ dan tata nilai yang kaku, facebook mulai digandrungi. Kondisi ini tentunya membuat pundi-pundi uang pemiliknya terus bertambah. Di luar itu, ada kapitalisasi kekuatan sosial politik yang menguat berbanding lurus dengan masifnya facebook. Masalahnya adalah munculnya eskternalitas sosial di balik kapitalisasi Facebook yakni pergeseran sosok masyarakat. 

Facebook Sebagai The New Public Sphere 
 Istilah public sphere pertama kali dikemukakan oleh Juergen Habermas. Terminasi public sphere biasanya digunakan dalam kerangka komunikasi politik yang positif. Public sphere digambarkan oleh Habermas sebagai sebuah ruang inklusif dimana masyarakat secara kolektif membuat sebuah opini publik dalam sebuah lingkungan terkait dengan kondisi sosial politik maupun ekonomi. Sayangnya dalam terminasi tersebut Habermas tidak menggambarkan bagaimana seharusnya seorang politisi mampu memanfaatkan public sphere

 Apakah facebook sendiri merupakan public sphere? Jelas, facebook merupakan sebuah ruang publik yang inklusif, semua orang asal melek komputer bisa menggunakannya. Tujuan orang menggunakan facebook juga mulai berkembang. Orang tidak hanya mengenal facebook sebagai tempat narsis-narsisan lagi tapi mulai meliriknya sebagai tempat untuk melemparkan sebuah wacana. Ketika wacana yang dilemparkan ditanggapi oleh pihak lain, mereka merasa eksis di sana hingga seterusnya berkembang tanpa sadar menjadi sebuah opini publik. 

 Dalam situasi seperti ini yang paling diuntungkan adalah dunia marketing khususnya marketing politik. Ada sebuah peluang yang harus dimanfaatkan dalam public sphere ini baik dalam mengarahkan opini maupun memobilisasi dukungan. Pionirnya yang melegenda adalah Presiden AS Barack Obama. Grupnya yang bertajuk ‘One Million Strong for Barack’ mampu mengumpulkan 300.000 lebih pendukung dalam kurun waktu kurang dari tiga minggu saja. Tapi itu wajar karena 90% masyarakat AS telah terakses internet dan sebagian besar memiliki account Facebook. Di Indonesia lebih fenomenal lagi, sebuah page bernama ‘Say No To Megawati’ mampu meraup hampir seratus ribu pendukung hanya dalam 3 hari saja. Padahal di negeri ini hanya ada 15 juta orang yang terakses internet dengan jumlah account facebook 2 juta saja. Entah berpengaruh secara langsung atau tidak, yang jelas keesokan harinya perolehan suara PDIP turun hingga 5 persen dalam pemilu legislatif. Untungnya kedua negara ini tidak mengenal strategi propaganda teknologi informasi seperti di China. China membayar sejumlah orang untuk mengcounter opini miring tentang pemerintah dengan upah 50 sen RMB per posting. Mereka biasa disebut dengan The Fifty Cents, mirip dengan nama penyanyi hip-hop di AS. 

Facebook dan Pergeseran Sosok Masyarakat
 Facebook sebagai sebuah jejaring sosial diakui memang cukup ampuh untuk mengikat modal sosial. Facebook banyak membantu orang untuk berhubungan dengan kolega lamanya, berinteraksi secara live dengan orang yang terpisah jarak dan hubungan-hubungan tersebut sering kali menghasilkan sebuah common reciprocity atau keuntungan bersama. Namun di balik kekuatannya ini facebook juga menyimpan potensi bagi terbentuknya sosok masyarakat baru yang berbeda dengan sebelumnya.

 Sosok masyarakat baru ciptaan facebook terutama pada wajahnya yang menggeserkan arti kata ‘teman’. Sikap ini dikemudian hari bisa menimbulkan beberapa resiko terutama bagi anak-anak. Tanyalah kepada teman anda berapa rata-rata teman yang dimilikinya dalam facebook. Mereka pasti menjawab dengan angka 200 hingga 500 orang. Namun teman disini bersifat ‘verbal’ artinya hanya teman dalam ‘sebutan’ setelah itu ‘they are completely strangers’ atau mereka adalah orang asing. Sebuah tulisan dalam harian Kompas Minggu pernah menyebutnya sebagai ‘the illusion of intimacy’. Kondisi seperti ini tidak memungkinkan untuk mewacanakan esensi pertemanan yang sesungguhnya seperti trust, love, support dan sharing. Juga ada seni dalam proses ‘friendship building’, sayangnya facebook belum bisa mewadahinya. Tidak hanya dalam substansi pertemanan,tapi dalam prakteknya bukan tidak mungkin fenomena ini akan mengakibatkan orang untuk menghindari berkomunikasi secara ‘face to face’. Alasan klasik yang biasa dikemukakan adalah ‘because its easier’. Permasalahannya adalah adanya gap antara ‘real life’ dengan ‘dunia maya’. Kebiasaan ini akan mengancam skill seseorang untuk berkomunikasi secara verbal. 

 Sosok yang terakhir adalah memudarnya ‘sense of privacy’ dalam masyarakat. Sudah barang tentu apa yang diposting dalam situs ini mudah sekali dibaca oleh orang lain kecuali kita benar-benar mengatur settingnya dengan cermat. Namun kurangnya rasa tanggungjawab sosial pengguna facebook terkait privacy masih nyata. Mereka mungkin sangat ketat menjaga privacy masing-masing namun tanpa disadari mereka sangat mungkin melanggar privacy orang lain. Hal ini bisa dibuktikan dengan maraknya posting yang berbau bullying dan hal-hal yang bertujuan untuk membuat malu orang lain.  


Kamis, 09 April 2009

Im Officially Golput


Kecewa, itu kata utama yang ada dalam benak saya hari ini. Gimana enggak, jauh-jauh saya pulang dari Jogja ke Jakarta buat Pemilu yang ternyata cuma menyatakan saya nggak berhak ikut. Padahal dapetin tiket ke Jakarta di masa pemilu itu nggak mudah, hampir semua angkutan load factornya full. Saya pun nekat pesan tiket pesawat jauh-jauh hari, kalau ga salah sekitar sebulan lalu. Bahkan khusus buat pemilu ini juga saya udah prepare punya pilihan, padahal biasanya saya baru mikir di bilik suara :D

Sia-sia deh semuanya, waktu sadar ternyata nama saya dan keluarga (ada 4 orang) ga terdaftar dalam DPT. Awalnya nggak percaya juga sampai saya cek ke beberapa TPS di sekitar rumah. Anehnya waktu di pilkada DKI tahun lalu kami terdaftar, bahkan keluarga kami menempati nomor urut 1-4 tapi pas pemilu 2009 nama kami sama sekali nggak ada. Tambah terheran-heran lagi ketika tetangga kami, sepasang suami istri yang udah meninggal 10 tahun lalu dan rumahnya sudah kami beli malah terdaftar !!! Yeah, saya tidak menginginkan golput tapi officially harus golput...

Di balik samua kekecewaan itu, saya masih terhibur. Toh walaupun saya tidak dapat berpartisipasi , partai yang akan saya pilih masih unggul di berbagai quick count. Tapi saya juga masih memendam kekhawatiran. Kondisi carut-marutnya DPT seperti ini bukan tidak mungkin akan membuka peluang bagi parpol yang berkurang konstituennya untuk mencari-cari alasan atas klaim pemilu yang tidak jujur dan adil. Tugas berat untuk Mahkamah Konstitusi. 

Minggu, 29 Maret 2009

Petaka Situ Gintung : Sedikit Faktor Alam, Dominan Faktor Kebijakan



Satu-satunya surga hijau di wilayah Ciputat dalam sekejap berubah menjadi neraka. Bau anyir dan lumpur teronggok di mana-mana. Tak pantas memang mencari siapa yang salah dalam tragedi Situ Gintung dikala ratusan orang bersimpuh menangisi kepergian sanak saudaranya dan cemas akan masa depan mereka. Namun bencana ini harus dijadikan pelajaran. Ada puluhan situ serupa di Jabodetabek yang tidak boleh menjadi Situ Gintung berikutnya. Situ di Jabodetabek adalah malaikat di kala musim penghujan datang, mereka menyelamatkan jutaan warga Jabodetabek dari kebanjiran. Di kala musim kemarau menyimpan cadangan air yang tidak sedikit bahkan menjadi tempat wisata. Faktanya, puluhan situ tersebut tidak berbeda nasibnya dengan Situ Gintung. Mereka makin terpinggirkan dari tahun ke tahun, makin menyempit termakan keserakahan pembangunan.


Pasca bencana, pemerintah berkilah bahwa faktor alam adalah sebab utama tragedi ini. Dirjen Sumber Daya Air Departemen PU Iwan Nursyirwan mengatakan bahwa jebolnya saluran pelimpah (spillway) Situ Gintung di Cirendeu, Ciputat akibat dari volume air yang terlalu besar akibat hujan deras yang mengguyur daerah tersebut sejak sore hari hingga malam. Iwan mengatakan bahwa tidak ada faktor human error maupun kerusakan bendungan dalam musibah ini, tetapi lebih kepada volume air yang datang melebihi kapasitas rencana daya tampung Situ Gintung. Benarkah demikian ? Mari kita runut kebelakang, dengan sedikit melakukan evaluasi kebijakan pemerintah terhadap situ tersebut, sedikit banyak black box tragedi ini bisa kita raba.


Pertama, adalah naif bila mengatakan petaka ini adalah natural disaster atau bencana yang diakibatkan oleh faktor alam. Logika untuk melihat bencana ini tidak bisa disamakan dengan kondisi gempa atau tsunami di Aceh yang sulit diprediksi. Pertanda akan datangnya bencana ini bisa diukur dengan pengecekan secara berkala lewat deteksi curah hujan dan kapasitas limpahan air. Ada faktor kelalaian seperti salah perhitungan di dalamnya. Pendekatan untuk memahaminya mirip seperti maintenance pesawat terbang, semakin tinggi kapasitas maintenancenya semakin rendah kemungkinan kecelakaan yang terjadi. Dengan pendekatan seperti ini, maskapai eropa telah mendekati zero accident. Hanya satu dari sejuta penerbangan yang mengalami musibah. Bandingkan dengan maskapai di Indonesia yang maintenancenya buruk, Indonesia mencatat tiga dari sejuta penerbangan mengalami kecelakaan.


Kedua, seperti banyak diungkapkan media massa. Masyarakat sejak dua tahun lalu mengeluh tentang bahaya kerusakan Situ Gintung, sayangnya menurut mereka pemerintah belum bertindak cepat untuk menanggulanginya. Mengapa kebijakan publik bisa demikian kesiangan ? ada permasalahan kewenangan disini, terjadi saling lempar tanggungjawab antara Pemerintah Banten sebagai otoritas di hulu, pemerintah DKI di hilir dan pusat (Balai Besar Sungai Ciliwung Cisadane/BKSCC). Paradigma pengelolaan sumber daya alam yang borderless ternyata hanya tercatat di buku-buku tebal bangku kuliah. Pemerintah Banten merasa hanya bertanggungjawab untuk mengurusi masalah sosial kemasyarakatan sekitar situ, Pemerintah DKI lepas tangan karena merasa itu bukan wilayahnya dan baru terkuak bahwa BKSCC lah yang selama ini memegang kendali atas situ tersebut. Maka jelas saja, aliran informasi untuk tindak lanjut melalui kebijakan menjadi tersendat. Masyarakat awam jelas tidak tahu pembagian kewenangan birokrasi ini sehingga hanya berharap pada pemerintah Banten yang justru tidak punya kewenangan untuk mengatasinya. Mungkinkah ada koordinasi diantara mereka ? seharusnya ada, dan bilapun ada seharusnya kejadian ini bisa diantisipasi sebelumnya.


Ketiga, melihat sekilas kondisi tata kota dan demografi sekitar Situ Gintung, mudah ditebak kalau ada kesalahan pengelolaan di sana. Kesalahan terutama adalah membiarkan masyarakat untuk rentan terhadap bencana (vulnerability factor). Situ Gintung yang awalnya seluas 31 hektar di awal pembangunannya kini tersisa hanya 20 hektar saja. Mengapa demikian ? konon derap pembangunan wilayah pinggiran Jakarta yang makin marak menjadi penyebabnya. Dibangunnya sejumlah universitas disekitar situ menjadi salah satu daya tariknya. Kondisi ini membuat harga tanah merangkak naik dengan cepat bahkan sejajar dengan harga tanah di Jakarta. Akibatnya wilayah ini menjadi menarik secara ekonomis, berdirilah berbagai rumah bahkan yang berkategori mewah. Perkembangan ini menyempitkan luas situ, kapasitas limpahan air menjadi terbatas. Permasalahannya adalah pemerintah menggunakan asumsi curah hujan yang sama dengan tahun 1910-1960 padahal cuaca telah berubah dengan ekstrim.


Belum lagi masyarakat yang tinggal dibawah tanggul. Posisi mereka sangat rawan bencana, ketinggian pemukiman tersebut 15 meter di bawah tanggul. Bagaimana mungkin pemerintah bisa membiarkan hal ini terjadi dengan percaya pada kekuatan tanggul yang dibangun pada masa kolonial ? Apakah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) telah mempertimbangkan kondisi rawan bencana ?


Tampaknya, faktor alam memang mempengaruhi. Namun bukankah manusia punya pengaruh terhadap alam? Kita tidak bisa melihat alam sebagai sesuatu yang konstan, yang bisa berubah-ubah semaunya tanpa kritis melihat sebabnya. Tidak hanya dalam kasus Situ Gintung. Secara makro, kebijakan publik sebagai produk pemikiran dan perbuatan manusia punya andil besar dalam menentukan bagaimana bumi ini akan bertahan bahkan berakhir sekalipun.

Minggu, 15 Maret 2009

PESONA SOFT POWER CHINA DI ASIA TENGGARA

Wacana penggunaan soft power dalam politik luar negeri belakangan kembali mengemuka terutama setelah reorientasi strategi politik luar negeri AS di bawah pemerintahan Obama. Era pemerintahan Bush yang begitu hawkish dan terkesan mendikte dunia kini telah usai. Pemerintahan Obama dengan Hillary Clinton kini mengubahnya dengan soft power yang menurut mereka adalah smart diplomacy. Namun ternyata tidak hanya AS yang melakukannya. China yang terkenal otoriter dan kaku di dalam negeri justru jauh lebih dulu mempraktekkannya ketimbang AS.
Selama beberapa dekade, China sempat memainkan hard power dalam membina politik luar negerinya dengan negara-negara di Asia Tenggara. Bisa kita lihat bagaimana China membantu pergerakan komunis di wilayah ini dengan bantuan persenjataan sebagaimana di Vietnam, Kamboja bahkan Indonesia. Dalam perkembangannya pasca perang dingin, ada shifiting strategi diplomasi China dengan menggunakan soft power terutama di Asia Tenggara. Soft Power sendiri menurut Joseph Nye berarti kemampuan untuk mempengaruhi dengan menggunakan budaya, partisipasi dalam organisasi internasional, diplomasi dan hubungan ekonomi. Joshua Kurlantzick menggunakan term yang lebih luas lagi yakni mencakup bantuan (aid) dan investasi.

Pesona Soft Power China
Berkembangnya pengaruh China di Asia Tenggara disebabkan oleh peluang yang diciptakan oleh kekakuan Amerika dalam diplomasinya. AS begitu lamban dalam merespon krisis ekonomi Asia tahun 1997 dan usaha counter attack tragedi 9/11 yang dianggap berlebihan. China akhirnya mampu mengambil pengaruh AS di Asia Tenggara dengan menggunakan soft power yang kebanyakan melalui bantuan luar negeri dan investasi. Dibandingkan dengan AS yang menerapkan banyak syarat untuk bantuannya, China begitu longgar dalam tawar-menawar bantuan. China tidak peduli dengan urusan dalam negeri negara yang diberikan bantuan. Ini yang disebut oleh China sebagai strategi win-win relations. Beijing bersedia mendengar keinginan negara-negara lain. Hal ini tentunya lebih disukai negara-negara Asia Tenggara yang banyak bermasalah dalam demokrasi dan HAM.
Eksistensi soft power China di Asia Tenggara begitu nyata. Thailand yang jelas-jelas sekutu AS malah berbalik ke China. Buktinya negara pertama yang dikunjungi PM Thaksin setelah pengangkatannya adalah China. Bahkan sebuah polling di Thailand menyebutkan, 70 persen responden mengaku China adalah kekuatan luar yang paling berpengaruh di Thailand. Di Filipina, Kajian Henry Yap of National Defense University menyebutkan bahwa bantuan China ke negeri ini tiga kali lipat jumlahnya dibandingkan bantuan AS. Di Indonesia menurut Georgetown Southeast Asia Survey pada tahun 2004, jumlah pelajar yang mendapatkan visa belajar di China jumlahnya dua kali lipat dibandingkan mereka yang belajar di AS. Pada tahun 2008, China memang membuka 120.000 kursi perguruan tingginya bagi mahasiswa asing, bandingkan dengan 20 tahun lalu yang hanya menyediakan 2.000 kursi saja. Kajian Malaysian Bussinesspeople lebih menarik lagi. Di Malaysia kendatipun banyak pengusaha lokal merasa terancam dengan kehadiran barang-barang China, mereka melihat China dengan citra positif.
Secara global implikasi soft power China ini tidak main-main. Horizon Group mencatat China adalah negara paling terkemuka di dunia dengan skor 40 persen.

Ada Apa di Balik Soft Power China ?
Secara normatif, goal dari penerapan strategi soft power China adalah terciptanya perdamaian internasional. Perdamaian berarti memberikan kesempatan bagi perekonomian China untuk terus tumbuh dan memastikan selalu ada tempat bagi China untuk memasarkan barang-barang mereka. China juga ingin mengurangi pengaruh Jepang dan Taiwan di Asia Tenggara, memotong jaringan bisnis Taiwan demi menegakkan One China Policy. Tujuan akhir dari strategi ini adalah tentunya, mengurangi pengaruh AS di Asia Tenggara hingga mereka beralih ke Beijing. Mengimplementasikan sebuah Monroe Doctrine baru, menciptakan sebuah orientasi bahwa China merupakan sebuah solusi baru bagi masalah regional.

Bahaya Pesona Soft Power China
Dalam beberapa kasus, penerapan soft power China bisa membahayakan terutama bagi cita-cita demokratisasi, gerakan antikorupsi, pelestarian lingkungan dan good governance negara-negara di Asia Tenggara. Selain mengekspor bantuannya, China juga mentransfer secara bersamaan pengaruh-pengaruh buruk bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik.
Di Burma selain mendukung junta militer, China menyokong perusahaan yang melakukan deforestasi besar-besaran. China juga membangun sebuah dam besar yang mengancam jutaan penduduk Indocina yang bergantung pada aliran sungai Mekong. Di Filipina ketika banyak lembaga internasional menyuarakan banyaknya korupsi dalam proyek-proyek be sar di negeri tersebut, China malah menawarkan bantuan US$ 400 juta untuk pembangunan jalur kereta api tanpa transparansi dan analisis dampak lingkungan yang matang. Di Indonesia juga terkuak bagaimana China bisa mendapatkan proyek gas Tangguh jauh di bawah harga pasaran internasional. Diduga ada suap dalam proses bidding proyek tersebut.

Review dari Jurnal :
Joshua Kurlantzick. China’s Charm, Implications of Chinese Soft Power. Carnegie Endowment Policy Brief, June 2006.

Kamis, 29 Januari 2009

Jeruk Itu Dari Sektor 22 Gelora Bung Karno

jam 9 pagi, habis nyusurin jalanan jakarta yang isinya Raikkonen dan Rossi semua, kami sampai juga di pintu JHCC Gelora Bung Karno. Tujuannya cuma satu, dapetin tiket pertandingan sepakbola kualifikasi Piala Asia 2011 antara timnas 'merah putih' vs 'the socceroos' Australia. Menurut pengalaman yang lalu-lalu, khususnya waktu Piala Asia di Jakarta, berburu tiket sepakbola ibarat orang mau mudik. Kudu dengan perjuangan tersendiri bahkan kalo perlu nginep di stadion. Tapi hari itu beda banget, kita kecele. Loket dibuka jam 11. Oh God...2 jam ngapain nih?

beruntung di Istora lagi ada Kompas Gramedia Fair, jadi ada pelarian buat ngisi waktu 2 jam. Puas keliling, kita ke ticket box. Kaget setengah mati, penjual tiket yang biasanya pakai seragam atau setidaknya name tag, hari ini nggak beda sama calo. Sempat ragu, jangan2 mereka benar-benar calo. Akhirnya kami ngetes, tanya harga tiket. Harga tiket normal buat VIP Tribun Kehormatan Rp 100.000,-, VIP Rp 75.000, Kelas 1 Rp 50.000, Kelas 2 Rp 30.000,dan Kelas 3 Rp 20.000. Ternyata yang ia jual adalah harga normal, so kami berkesimpulan dia bukan calo. Bukan tanpa alasan kami begitu takut calo, karena sebelum loket dibuka pun kami udah ditawari tiket ! 3 lembar tiket kelas 2 akhirnya kami bayar di ticket box. kelas 2 jadi pilihan karena takut ketemu supporter ganas yang biasanya ngumpul di kelas 3. Walaupun akhirnya kami tengsin juga, karena ternyata supporter yang ganas-ganas itu malah mendominasi kelas 1 :D...
Setelah adzan maghrib, kami kembali ke Senayan. Agak repot juga nyari tempat sholat maghrib dan sempat suuzon dengan panitia (PSSI). jangan-jangan nggak disediain tempat sholat, ya nggak heran lah timnas kita nggak maju-maju. He3, ternyata nggak. begitu masuk gate IX, ada tempat sholat yang walaupun seadanya tapi cukup bersih dan layak.

Selesai sholat, kami bergegas masuk tribun dengan melewati pemeriksaan petugas. Ternyata kami termasuk orang-orang yang membawa barang terlarang yaitu air mineral! si petugas langsung menggasak botol-botol air mineral kami dan memindahkannya ke plastik kecil lalu memberi kami sejumlah pipet. Ha2, sampe segitunya. Tapi wajar, dalam pertandingan sepakbola sekarang anarkisme nggak cuma ngelempar batu tapi dalam mode yang lebih lebay lagi, botol aqua ! uniknya, hal ini udah masuk standar keamanan event-event AFC. Pemeriksaan nggak berhenti di situ, di pintu tribun kami diperiksa lagi. Kali ini pakaian kami dirogoh dan yang dicari adalah korek api! beruntung kami nggak ada yang perokok jadi nggak ada masalah dgn korek api.



07.20 pemain-pemain keluar dari ruang ganti disambut sorak sorai riuh penonton. hati ini berdegup keras, panas-dingin waktu seisi stadion yang berisikan 50.000 kepala itu menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sayangnya, penonton agak nggak respek waktu 'Advance Australian Fair' dinyanyikan. Padahal kalau mereka tahu, menghormati negeri lain itu sama dengan menghormati negeri kita sendiri.

Pertandingan berjalan alot, sampai babak kedua Indonesia praktis cuma bisa menyerang dari sayap kirinya, Elie Aiboy. Sementara Australia tampil cukup dominan walaupun nggak diperkuat skuad eropanya seperti Tim Cahill, Mark Viduka ataupun Mark Schwarzer. Hampir tidak ada wajah pemain Australia yang aku kenal saat itu. Hingga akhirnya di ujung babak kedua, datang puncak kekesalan kami atas kepemimpinan wasit. Budi yang dijegal dengan keras dalam kotak penalti tidak diberikan hadiah penalti. Nggak ada botol aqua, jeruk pun siap dilepaskan. Posisi kami cukup strategis untuk memberi hadiah jeruk hari itu, sektor 22 di tribun bawah! Untungnya, kami masih cukup sadar dan masih ingin pulang ke rumah malam itu. Walaupun kami sempat berlekelakar, kalau kami jadi melempar, setelah ini jeruk pun masuk standar kemananan AFC . Dilarang bawa jeruk ke dalam stadion.




Selasa, 27 Januari 2009

Kontroversi Halal-Haram Onani

Maaf. Ga bermaksud saru lho, tapi aku pikir banyak yang perlu tau soal ini,
terutama buat teman2 yang menanyakannya di kampus, sori aku baru inget jawabannya ada dimana...

Mengenai onani atau istimna’bil yad (bhs arab), yakni masturbasi dengan tangan sendiri. Islam memandangnya sebagai perbuatan tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Namu para ahli hukum fiqh masih berbeda pendapat tentang hukumnya :

Pendapat pertama, Ulama Maliki, Syafi’i dan Zaidi mengharamkannya secara mutlak, berdasarkan Al Qur’an surat Al Mu’minum ayat 5-7 : Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Maka barangsiapa yang mencari di balik itu, mereka itulah orang yang melampaui batas.
Ayat ini dengan jelas memerintahkan kita agar menjaga kehormatan alat kelamin, kecuali terhadap istri dan budak kita (budak di sini ialah budak yang didapat dalam peperangan untuk membela agama)

Pendapat kedua,Ulama Hanafi secara prinsip mengharamkan onani, tetapi dalam keadaan gawat, yakni orang yang memuncak nafsu seksnya dan khawatir berbuat zina, maka ia boleh, bahkan wajib berbuat onani demi menyelamatkan dirinya dari perbuatan zina yang jauh lebih besar bahaya dan dosanya. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh : Wajib menempuh bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya.

Pendapat ketiga, ulama Hambali mengharamkan onani, kecuali kalau takut berbuat zina atau khawatir terganggu kesehatannya, sedangkan ia tidak mempunyai istri dan tidak mampu kawin, maka ia tidak berdosa berbuat onani. Jadi menurut pendapat kedua dan ketiga diatas, onani hanya diperbolehkan dalam keadaan terpaksa dan sifatnya dibatasi seminimum mungkin sesuai dengan kaidah fiqh : Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, hanya boleh sekedarnya saja

Pendapat keempat, Ibnu Hazm memandang makruh onani, tidak berdosa tapi tidak etis

Pendapat kelima, Ibnu Abbas, Al Hasan dan lain-lain membolehkan onani. Menurut Al Hasan : Orang islam dahulu melakukannya dalam waktu peperangan (jauh dari keluarga/istri). Dan kata seorang mujahid murid Ibnu Abbas : Orang islam dahulu mentoleransi para remaja/pemudanya melakukan onani/masturbasi. Dan hukum mubah/boleh berbuat onani tersebut berlaku bagi pria maupun wanita.

Kesimpulannya menurut Masjfuk Zuhdi, masturbasi atau onani diperbolehkan dalam situasi dan kondisi tertentu, seperti peperangan atau masa remaja (masa remaja atau strum and drang), sebagaimana diisyaratkan oleh Al Hasan dan Mujahid di atas. Namun tidak boleh dilakukan secara rutin sebab bisa mengganggu kesehatan jasmani dan rohani. Demikian pula melemahkan potensi kelamin serta kemampuan ejakulasinya, sehingga menjadi sebab gagalnya sel sperma pria menerobos masuk untuk bertemu dengan sel telur wanita (ovum)

Sumber : Masa’il Fiqhiyah Hal 45-48

Cowok Macam Apakah Kamu?

Buat yang ce nya sering nangis (hahaha, gw iya nggak ya??), ini ada tester buat mengetahui cowok macam apakah kamu?

Cowok Cuek: "Biarin Aja,paling ntar diam sendiri"
Cowok Naif: "Beliin gulali sama balon warna-warni"
Cowok Jaim: "Plz dunk jangan bikin malu gue,masa nangis sih"
Cowok gak sabaran: "Hari gene masih nangis,plzzz dech!!?"
Cowok Sensitif: "Ikutan Nangis N memble"
Cowok ahli Hipnotis: "Saya hitung 1,2,3...dihitungan ketiga anda melupakan semuanya... lupakan
semuanya... lupakan... OK!"
Cowok Pasrah: "Terserah Lo deh!!!"
Cowok Idaman: "Menangislah sepuasnya dipundakku, sambil tangannya melingkar melindungi si
cewe (kadang meraba)"
Cowok Tajir: "Beliin Mobil, Handphone..."
Cowok Romantis: "Bacain Puisi, dinyanyiin lagu NINA BOBO"
Cowok Horny: "Dibaringin ditempat tidur del el el"
Cowok Bete: "Dipeluk sambil dibisikin `kita putus aja ya` abisnya kamu cengeng banget sih say"
Cowok Narsis: "Sibuk ngambil foto diri sendiri pake N6600"
Cowok Dermawan: "Ngeluarin recehan sembari bilang May God Bless You..."
Cowok Kere: "Sory nih yang,aqu ga bisa beliin tissu..."
Cowok Santri: "Astagfirullah....tabahkan hatimu dinda."
Cowok Kritis: "Nanya ada paan sih? siapa? kenapa? dimana? kemana? kok bisa sih? ya udah...
ambil positifnya aja lah"
Cowok tulalit: "Kamu nangis dapet bonus apa ditinggal mati sih? Hiiii...kamu bisa juga nangis
yah?"
Cowok Matre: "Cewe kere Lo... nangis mulu nyusahin gue doank"
Cowok Kejam: "Hehehehe... ini belum seberapa sayang...nanti aku bisa bikin kamu tambah
sengsara sampe meraung-raung... lebih parah lagi... mau nangis lagi?"

nah, kira2 kamu masuk yg mana tuh?sayang disini kategori co ganteng gak ada :D

dari : kaskus.us

Senin, 26 Januari 2009

kalabendu kah kita?

setiap band pastinya punya panutan..nidji misalnya, banyak bgt terinspirasi dari keane (walopun gw ngerasa nidji banyak njiplak dari keane : I )..nah, aku (bukan anak band n gbs maen musik blass selain flute yamaha jaman SMP dulu, tp vokal gw lumayan kok ha2), juga punya birokrat panutan. He's my grandpa..beliau bs gw sebut birokrat profesional. Masa muda sampai pensiun dihabiskan untuk mengabdi sebagai camat di berbagai pelosok wilayah Malang, Jawa Timur. Gelar 'camat' begitu identik sama sosok eyangku yang satu ini. Setelah pensiun pun, orang-orang disekitarnya lebih mengenalnya sbg 'pak camat' ketimbang nama asli beliau... 

Hal yg bikin gw kesemsem sama beliau of course, kita satu pemikiran! Ketika gw mutusin buat totally dedicate my life untuk dunia politik dan pemerintahan, beliau org pertama yg mendukung..hal yg nggak pernah gw temuin ketika orang2 muda di luar sana ego sektoral memandang sebelah mata bidang yg gw tekuni. bahkan beliau berpesan,' jangan ikut-ikutan orang di luar sana. mereka itu politisi tapi bukan pemerintah,mereka memimpin daerah, negara dengan cara politik tapi pemerintahannya non sense'..yup, aku nangkep pesannya yg mungkin kalo diterjemahin ke bahasa politik modern..'leadership always matter but actually they know how to lead but dont know how to govern'

sejak kecil, biasanya sehabis ngaji (dulu gw rajin ngaji he2 : ))..beliau suka banget ngajarin aku filosofi jawa. dari sekian banyak kisah, yang paling dalem adalah primbon raden ronggowarsito. sang raden ini emang nggak seterkenal nostradamus, tapi percaya nggak percaya, mereka sama hebatnya..

Salah satu masterpiece raden ronggowarsito adalah ramalannya tentang kedatangan zaman edan (kalabendu). Tanda2nya banyak, bisa dibaca dalam perumpamaan di bawah:

"akan datang suatu zaman dimana kucing mulai berkompromi dengan tikus"

"akan datang suatu zaman dimana angsa mati kelaparan di lumbung padi"

nah, kalabendu kah kita sekarang ?

Belum lari dari ingatan kita waktu Jaksa Oerip Tri Gunawan digiring ke penjara tipikor gara-gara main mata dengan Arthalyta Suryani. Inikah kala bendu itu ? ya, sang tikus (istilah buat koruptor dan sejenisnya) berbagi rejeki dengan sang jaksa (kucing, yang biasa menangkap tikus). Keduanya bahkan keliatan kompak saling melindungi di pengadilan yang terbukti lewat rekaman percakapan telepon. keren ya, bisa masuk animal planet tuh. Kucing dan tikus nggak lagi kejar-kejaran, Tom n Jerry juga perlu dirilis ulang he2..

Lain lagi kasus Yahukimo, udah agak lama sih tapi inilah 'angsa mati kelaparan di lumbung padi'. Indonesia, yang negeri zamrud khatulistiwa gemah ripah loh jinawi (tanya anak SD pasti apal!) bak lumbung padi ini gak bebas dari kelaparan, bahkan di tengah-tengah lumbung itu ada malaikat pencabut nyawa yang siap membuat angsa-angsa menjerit meregang nyawa akibat perut terlilit. Paradox of Plenty kasusnya, kata Joseph E Stiglitz dalam buku'Making Globalization Works'. Entah apa sebabnya, tapi yang sangat mungkin adalah problem aksesibilitas. Kata Amartya Sen dalam Development As Freedom, terkait bagaimana kesempatan mereka mendapat kesempatan untuk mendapatkan makanan. Atau mungkin, makanan banyak tapi masyarakat nggak mampu membelinya (maaf, aku nggak bermaksud bawa2 topik kampanye slh satu parpol lho). Dalam sebuah penelitian di Garut aku sempat mendengar pangakuan lurah setempat, "Bukannya makanan itu nggak ada mas, di pasar banyak kok, tapi masyarakat kami nggak sanggup membelinya"....

Kamis, 22 Januari 2009

Timor Timur Satu Menit Terakhir



Seperti biasa, acara mudik ke Jakarta must be 'book hunting's time'! secara, di jogja peredaran buku emang rada lemot (tapi emang murah c, *ya jelas namanya juga buku lama T_T)..


Konon alur peredaran buku di jogja, baru datang setelah Jakarta, Surabaya dan Bandung. Kita kudu nunggu 2-3 bulan untuk buku-buku yang baru aja diterbitkan..



Yeah, whatever, yg ptg skrg dah di Jakarta..Its Show Time !!!

Seperti biasa, tujuan pertama adalah Gramed tentunya. Sambil nginget2 hujatan temen :
'Lo ga sayang duit banget c yog, beli buku aja kudu d gramed!'...
tetep, buatku 'information is a power'..yang dpt informasi duluan he's got more power
ga penting harganya berapa,,sikat aja!!

Kliling2 d gramed yang katanya gramed terbesar yang ad d mall se indonesia..
sempet jiper juga cos buku2nya gda yg insightful..
sempet tergoda juga beli 'the naked traveler' padahal udah baca bolak-balik di blog
(mpe diketawain pengarangnya gara2 kesemsem trus nulis d FB :D)

finally, ketemu buku baru judulnya 'Timor Timur Satu Menit Terakhir'
awalnya ga tertarik sampe akhirnya ku balik cover belakangnya,
Waw..sang penulis (CM Rien Kuntari, wartawan Kompas)
menyatakan kalo meliput konflik di Timtim ternyata lebih menegangkan dan menantang ketimbang di Rwanda bahkan di Iraq..
Ga kebayang deh, padahal 2 konflik tadi eskalasinya jauh2 lebih besar daripada konflik di tim2!
Lagipula,bukankah seharusnya meliput di negeri sendiri jauh lebih mudah karena setidaknya kita tahu sikon lapangan lebih banyak?

Panasaran, akhirnya ku lepas duit Rp 84.000,- pake ATM Mandiri yang udah bobol dari kapan tau..

Ternyata, tantangan itu adalah diktum 'cover both sides'..gimana seorang wartawan harus berdiri atas semua kepentingan..Kepentingan warga yang pro dan anti integrasi dengan NKRI...Saking cover both sidesnya, Rien Kuntari yang jelas-jelas WNI, dituduh pro kemerdekaan Tim2. Rien sempat agak putus asa dengan berbagai ancaman hingga salah satu rekan melepaskan dehaganya, 'sudahlah rin. kalau ada salah satu kelompok yang marah atau senang sama kita, itu artinya kita nggak balance. Tapi kalo dua-duanya benci sama kita, itu artinya pemberitaan kita balance'

Tuduhan itu bukan tanpa alasan, Rien dalam menjalankan tugasnya rela menelisik hingga ke kantong-kantong markas para pasukan Falintil, pasukan pro kemerdekaan Timtim. Apa yang ditemukan oleh Rien cukup mengagetkan, ia yakin bahwa Timtim pasti akan lepas dari NKRI karena kalah dalam jajak pendapat. Salah satu alasannya adalah bahwa ternyata pasukan pro integrasi lebih akrab dengan kekerasan ketimbang pasukan pro kemerdekaan sehingga pasukan pro kemerdekaan bisa mendapatkan simpati masyarakat ! Rien mengujinya dengan sebuah pertanyaan, 'Apakah yang akan kalian lakukan jika kelompok kalian kalah dalam jajak pendapat?'

Kelompok Pro Integrasi : 'kami akan berperang !'

Kelompok Pro Kemerdekaan :'kami akan turun gunung dan bercocok tanam bersama masyarakat lainnya'

Sungguh kontradiktif dari apa yang kita dengar selama ini terutama dari buku-buku sejarah orba kalau mereka (pasukan Falintil, Fretilin dsb) adalah gerakan pengacau keamanan yang jauh dari rasa iba dan kedamaian.

Fakta lainnya yang terungkap adalah ternyata, pasukan pro kemerdekaan timtim selama ini didukung oleh pegawai pemda sendiri. Pegawai pemda yang digaji oleh RI ternyata banyak yang tidak mendukung integrasi Timtim. Dibalik baju PNS itu, tercipta sejumlah trik untuk membantu rekan-rekan mereka mencapai kemerdekaan.

Wondering...'apa yang dilakukan RI selama 24 tahun belakangan di Tmtim hingga mereka berbuat demikian?'


Jakarta Macet? Nebeng dong !


Jakarta nggak pernah nggak macet, faktanya :

  1. Jumlah perjalanan di Jabodetabek saat ini mendekati 17 juta perjalanan per hari. Dengan jumlah perjalanan sedemikian besar, kecepatan kendaraan rata-rata di Jabodetabek hanya sekitar 34,5 km per jam. Setiap hari lebih daripada 600.000 kendaraan dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) berjalan ke pusat kota Jakarta dengan pola perjalanan yang konsentrik radial atau menuju ke tengah kota.
  2. Perbandingan jumlah kendaraan pribadi dan kendaraan umum adalah 98% kendaraan pribadi dan 2% kendaraan umum. Padahal jumlah orang yang diangkut 2% kendaraan umum lebih banyak dari pada jumlah orang yang diangkut oleh 98% kendaraan pribadi. Dari total 17 juta orang yang melakukan perjalanan setiap hari, kendaraan pribadi hanya mengangkut sekitar 49,7% penumpang. Sedangkan 2% kendaraan umum harus mengangkut sekitar 50,3% penumpang
  3. Akibatnya jelas. Bappenas menyatakan kerugian akibat kemacetan saja misalnya, secara ekonomi mencapai Rp 9,89 Triliun per tahun. Itu belum termasuk cost akibat kerusakan lingkungan dan subsidi BBM yang meningkat tajam

solusinya.....Nebeng yuk !

Banyak alasan yang menguntungkan untuk melakukan Carpooling atau yang lebih dikenal dengan sebutan nebeng. Kegiatan ini berupa kegiatan berbagi ruang di kendaraan pribadi karena umumnya di Jakarta, satu mobil hanya diisi satu orang dan ini merupakan salah satu sumber masalah kemacetan.

Manfaat yang paling terasa dengan Nebeng adalah menghemat ongkos BBM dan transportasi karena bisa berbagi dengan orang lain. Selain itu karena Carpooling dilakukan bersama orang yang saling kenal, sangat kecil kemungkinan terjadi tindak kriminal. Oleh karena itu para penumpang bisa dengan tenang tidur selama perjalanan. Selain aman, Carpooling bisa lebih nyaman karena pasti duduk. Dan bagi yang harus melewati kawasan three in one, Carpooling bisa menjadi sebuah solusi. Selain bermanfaat bagi yang memberi tebengan maupun penebeng, Carpooling membawa dampak positif bagi lingkungan hidup. Carpooling dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi apabila para pemilik kendaraan pribadi memutuskan ikut Carpooling. Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi akan langsung mengurangi polusi udara. Transportasi merupakan salah satu kegiatan yang menghasilkan gas rumah kaca penyebab pemanasan global sehingga dengan Carpooling, juga mengurangi emisi gas rumah kaca. Pengurangan penggunaan kendaraan pribadi juga membuat kita menghemat persediaan BBM Indonesia yang kian menipis.

Di Jakarta sendiri, kegiatan Carpooling ini telah diwadahi oleh sebuah komunitas yang menamakan diri mereka Komunitas Nebeng. Komunitas Nebeng secara organisasional berada di bawah CV Mitra Utama Niaga dengan direkturnya seorang sarjana teknologi informasi bernama Rudyanto. Komunitas Nebeng adalah kumpulan orang-orang yang berbagi kendaraan dengan tujuan menghemat BBM dan mengurangi kemacetan lalu lintas. Dalam bahasa ilmiah sistem transportasi kegiatan ini biasa disebut dengan Carpooling community. Carpooling ini menggunakan sistem berbasis web dalam situs www.nebeng.com.

Situs tersebut pertama kali diluncurkan ke publik pada tanggal 28 September 2005, tepatnya beberapa hari sebelum kenaikan BBM diumumkan pada tanggal 1 Oktober 2005. Karena harga BBM yang melambung tajam tersebut maka saat itu banyak orang terutama warga Jabodetabek yang mendaftar. Hingga saat ini jumlah jumlah anggota Komunitas Nebeng mendapat antusiasme cukup besar dari masyarakat hingga mencapai 25.000 orang

Komunitas ini tidak ditujukan untuk melarang masyarakat membeli kendaraan pribadi walaupun tiap harinya ada 200 kendaraan baru turun ke jalanan. Di Jakarta, tidak sedikit keluarga yang memiliki jumlah kendaraan dengan jumlah yang sama dengan anggota keluarga tersebut. Komunitas ini berusaha mengkampanyekan pengurangan penggunaanya di jalan.

Bagi mereka yang berminat menjadi anggota komunitas, para calon anggota Komunitas Nebeng mendaftarkan diri masing-masing di situs www.nebeng.com dengan tujuan agar data mereka bisa diakses oleh orang-orang yang ingin berbagi kendaraan dengan jalur yang sama. Situs ini content-nya terbilang sederhana. Ada kolom register, login, dan cari. Semuanya dibagi dua untuk mereka yang mencari tebengan dan memberi tebengan. Setelah mendaftar, pengunjung akan mendapatkan ID untuk masuk ke jaringan. Bagi mereka yang mencari tebengan, akan mendapat informasi tentang orang-orang yang memiliki mobil dan menyediakan tebengan. Begitu pula sebaliknya.


Prosedur pertama adalah melakukan registrasi, para calon anggota bisa memilih jenis keangggotaan apakah akan menjadi penebeng atau pemberi tebengan. Selanjutnya, ada aturan main pendataan yang harus dipenuhi calon anggota seperti larangan pengisian data yang berisi kata-kata yang tidak sopan, SARA, pornografi maupun sejenisnya. Komunitas juga tidak bertanggungjawab atas data yang diisi namun admin selalu akan menghilangkan data-data yang tidak sesuai dengan aturan main.

Setelah mengisi data pribadi para calon anggota harus mengisi keterangan tentang kondisi kendaraannya seperti tipe mobil,tahun mobil, kondisi AC, kondisi jemputan, kondisi antar, kondisi iuran (gratis atau saweran), kondisi rokok (boleh merokok dalam mobil pemberi tebengan atau tidak) bagi pemberi tebengan. Hingga pada step selanjutnya yakni kondisi jam berangkat dan pulang maupun tempat pertemuan. Pada prosesnya komunitas Nebeng kemudian mengadakan verifikasi data. Para pemberi tebengan dan penebeng akan ditemukan kecocokannya oleh komunitas dalam waktu yang tidak bisa ditentukan tergantung kondisi wilayah masing-masing. Setelah jadi member, pengunjung bisa mengakses informasi mengenai nama penumpang dan pemberi tebengan—lengkap dengan jenis kelamin, nomor yang bisa dihubungi, rute tujuan, jenis mobil, hingga penjelasan akan kondisi tertentu. Penjelasan akan kondisi tertentu ini membantu keamanan dan kenyamanan dua belah pihak. Ada orang yang merasa lebih aman dan nyaman jika berbagi kendaraan dengan sesama jenis (kelamin) atau mereka yang berkebiasaan buruk sama, suka merokok sepanjang perjalanan, misalnya.

So, selamat Menebeng!

Diolah dari berbagai sumber dan hasil studi lapangan berjudul 'Peluang Penerapan Carpooling System Sebagai Alternatif Kebijakan Transportasi Kota'

Ketika Internet Gagal Jadi Senjata Ampuh Demokrasi


Internet di sebuah negara demokratis biasa digunakan untuk membangun pemerintahan yang transparan dan akuntabel . Namun yang terjadi di China cukup kontradiktif dengan apa yang terjadi dengan dunia lain menyangkut kebebasan berpendapat melalui media internet. Menurut Backman, internet yang sebenarnya dimaksudkan untuk menggoyahkan rezim-rezim otoriter di China justru digunakan oleh pemerintah sebagai alat yang ampuh untuk mencari dan menghancurkan para pembangkang dan calon pembangkang pemerintah. Internet gagal membuat pemerintah menjadi diawasi oleh publik seperti utopianya dalam negara demokrasi. Internet oleh pemerintah dimanfaatkan untuk mencari para aktivis, mencari bukti dan kemudian memenjarakan mereka. Pada tahun 2005 misalnya, seorang jurnalis, dipenjarakan selama 10 tahun gara-gara membocorkan buku petunjuk intern Partai Komunis ke situs-situs luar negeri .
Logika penelurusannya mudah saja, setiap komputer memiliki satu alamat IP yang unik dan setiap posting atau kunjungan ke suatu situs dapat ditelusur dengan balik ke komputer asal. Ini berarti bahwa dengan tersambungnya rumah tangga ke internet, pemerintah mendapat alat pengintai yang tangguh yaitu komputer pribadi masyarakat sendiri. Pemerintahan China juga mencengkram erat-erat perusahaan besar macam Yahoo! hingga tak berkutik untuk tidak menyesuaikan diri dengan kebijakan PKC yang melakukan sensor informasi yang sangat ketat.
Tidak hanya itu, sejak tahun 2005 PKC ternyata merekrut sekitar 280.000 pengguna internet yang bertugas aktif berbincang di berbagai mailing list dan forum diskusi dengan tugas mengcounter segala komentar miring tentang pemerintahan PKC. Mereka biasa disebut sebagai 50 cents (bukan nama penyanyi hip-hop Amerika tentunya) karena mendapatkan 50 mao untuk tiap-tiap posting yang membela pemerintah.
Sumber :
Backman. Michael. Asia Future Shock. Jakarta : Ufuk Press. 2008 Hlm 172
Majalah Gatra Edisi 27 Agustus 2008 : Paradoks Pertumbuhan China

Penjernihan Air, Dari Kaporit Ke Biji Kelor

Sesuai anjuran pemerintah dan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat, air yang tercemar diberi kaporit untuk menetralkan, tapi ternyata banyak yang tetap tidak mempan. Selain itu air yang diberi kaporit biasanya akan membuat tubuh tidak nyaman. Kulit dan rambut akan terasa kering, bahkan dalam jangka panjang akan menstimulan penyakit ginjal. Dari sisi lingkungan atau ekologis, pemakaian kaporit yang secara terus menerus akan mematikan ekosistem sungai bila limbahnya dibuang ke sana. Hal tersebut bisa dicoba dengan misalnya menaruh ikan pada air berkaporit, dalam beberapa waktu ikan tersebut akan mati. Begitu juga dengan tanaman, air berkaporit yang digunakan untuk menyiram tanaman akan membuat tanaman menjadi tidak sehat.

Pusat-pusat pengolahan air perkotaan atau municipal water treatment dengan skala besar mengolah air dengan cara menambahkan senyawa kimia penggumpal (coagulants) ke dalam air kotor yang akan diolah. Dengan cara tersebut partikel-partikel yang berada di dalam air akan menjadi suatu gumpalan yang lebih besar lalu mengendap. Baru kemudian air di bagian atas yang bersih dipisahkan untuk digunakan keperluan sehari-hari. Namun demikian, zat kimia penggumpal yang baik tidak mudah dijumpai di berbagai daerah terpencil. Andaipun ada pasti harganya tidak terjangkau oleh masyarakat.
Salah satu alternatif yang tersedia secara lokal adalah penggunaan koagulan alami dari tanaman yang barangkali dapat diperoleh di sekitar kita. Penelitian dari The Environmental Engineering Group di Universitas Leicester, Inggris, telah lama mempelajari potensi penggunaan berbagai koagulan alami dalam proses pengolahan air skala kecil, menengah, dan besar. Penelitian mereka dipusatkan terhadap potensi koagulan dari tepung biji tanaman Moringa oleifera. Tanaman ini mengandung zat aktif rhamnosyloxy-benzil-isothiocyanate, yang mampu mengadopsi dan menetralisir partikel-partikel lumpur serta logam yang terkandung dalam air limbah suspensi, dengan partikel kotoran melayang di dalam air.
Tanaman tersebut banyak tumbuh di India bagian utara, tetapi sekarang sudah menyebar ke mana-mana ke seluruh kawasan tropis, termasuk Indonesia. Di Indonesia tanaman tersebut dikenal sebagai tanaman kelor dengan daun yang kecil-kecil.

Proses pembersihan tersebut menurut hasil penelitian yang telah dilaporkan mampu memproduksi bakteri secara luar biasa, yaitu sebanyak 90-99,9% yang melekat pada partikel- partikel padat, sekaligus menjernihkan air, yang relatif aman (untuk kondisi serba keterbatasan) serta dapat digunakan sebagai air minum masyarakat setempat. Penelitian lain mengatakan serbuk bijinya mampu membersihkan 90 persen dari total bakteri E. Coli dalam seliter air sungai dalam waktu 20 menit. Selain itu biji kelor bisa dimanfaatkan sebagai bahan koagulan (bioflokulan) sewaktu mengolah limbah cair pabrik tekstil. Hasilnya terjadi degradasi warna hingga 98 persen penurunan BOD 62 persen, dan kandungan lumpur 70 ml per liter.
Proses Pemanfaatannya bisa dilihat pada gambar berikut :


Diolah dari berbagai sumber

Rabu, 21 Januari 2009

Reposisi Otonomi Daerah : Belajar Dari China dan India

Dinamika Ilmu Administrasi Publik dan Kaitannya dengan Isu Desentralisasi dan Otonomi

Ilmu Administrasi Publik dari masa ke masa mengalami pergeseran paradigma untuk menjawab dinamika perubahan zaman. Dengan demikian olok-olok administrator publik adalah hanya sekitar ‘carik lurah’ atau ’pegawai tata usaha’ sudah tidak relevan lagi. Stigma tersebut bisa jadi karena di masa lalu ada pemisahan antara ranah politik dan administrasi atau yang kerap disebut sebagai dikotomi politik dan administrasi. When Politics End, Administration Began. Seorang administrator hanya berkecimpung pada level implementasi dan tidak memiliki kekuatan secara politis untuk mempengaruhi proses kebijakan kendatipun ia lebih memahami masalah ketimbang perumus kebijakan. Paradigma seperti ini bahkan masih diimplementasikan hingga saat ini walaupun Administrasi Publik sudah berkali-kali mengalami pergeseran paradigma.
Karenanyalah, Ilmu Administrasi Publik meluas dari sekedar ilmu manajemen yang mengerucut dalam Public Management menjadi ilmu kebijakan atau mencakup juga kebijakan publik. Keterlibatan Administrasi Publik tadi dalam proses kebijakan, membuat ilmu ini harus mampu merancang kebijakan yang strategis dan ampuh dalam rangka mewujudkan governance reform di Indonesia. Maka tantangan ilmu Administrasi Publik di Indonesia adalah menyelenggarakan governance reform terbesar di dunia selain yang telah dilaksanakan oleh Afrika Selatan. Governance reform di Indonesia dikatakan luas karena memiliki cakupan yang meliputi : penataan kelembagaan, desentralisasi, reformasi keuangan, dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kajian mengenai desentralisasi adalah yang menjadi perhatian utama. Desentralisasi yang diwujudkan oleh kebijakan otonomi daerah memerlukan perhatian karena di dalamnya menyangkut kebijakan mengenai hubungan pusat dan daerah, penataan sistem kelembagaan yang efisien dan optimal, dan yang paling penting adalah terjaminnya pelaksanaan good governance. Kesemua bidang itu adalah prasyarat bagi terjaminnya pelaksanaan otonomi daerah dan tentu saja menjadi tanggungjawab peminat ilmu Administrasi Publik.

Interaksi Politik yang Berlebihan Menjadi Ganjalan Bagi Governance Reform Di Indonesia
Kondisi politik Indonesia yang tak menentu dan cenderung berlebihan akibat interaksi politik yang mementingkan kekuasaan menjadi akar permasalahan bagi terganjalnya proses reformasi tata pemerintahan di Indonesia. Dari mulai konstitusi ( UUD 1945) ternyata sudah bermasalah, amandemen yang dilakukan selama ini cenderung tak memiliki konsep yang jelas. Tentu saja ketidakjelasan konsep ini pada akhirnya akan menimbulkan ketidakpastian.

Hal tersebut bisa dilihat dari kedudukan parlemen yang trikameral dengan adanya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), DPR dan MPR. MPR sendiri semakin kehilangan relevansinya dengan diadakannya pemilihan presiden langsung sehingga dianggap tidak lagi dianggap menjadi pemegang kedaulatan rakyat. Tidak mengherankan bila banyak pengamat yang mengusulkan agar MPR segera dibubarkan. Sistem trikameral ini merupakan anomali karena umumnya negara-negara di dunia saat ini hanya menganut sistem bikameral (two chambers). Begitu pula dengan lembaga yudikatif yang makin banyak walaupun fungsinya serupa seperti adanya lembaga Kejaksaan yang dilapisi oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Pun di tingkat eksekutif, proliferasi birokrasi terjadi di mana-mana. Birokrasi ditegakkan bukan karena komitmen untuk pelayanan atau profesionalisme tapi karena konsesi pada partai politik sebagai akibat dari terbentuknya pemerintahan koalisi. Ketika kabinet tidak lagi mencukupi untuk menampung kepentingan partai politik, dibentuklah komisi-komisi yang jumlahnya hingga mencapai 51 komisi.

Dengan demikian yang terjadi adalah pemborosan yang membebani anggaran negara. Terhamburnya uang negara tersebut membuat banyak pelayanan publik yang mestinya dimaksimalkan menjadi kering tanpa anggaran dan cenderung tak terbiayai. Akibatnya tentu saja pelayanan publik dan pelaksanaan governance menjadi terhambat oleh salah satu sebab tadi.

Data Governance Assesment Survey yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan UGM yang meliputi indikator berupa Voice and Accountability Democracy, Government Effectiveness, Rule of Law, Political Stability, Regulatory Quality, dan Control of Corruption menunjukkan semua indikator tidak mengalami kemajuan. Bahkan, tidak lebih baik daripada pemerintahan di zaman orde baru. Satu-satunya indikator yang lebih baik adalah Voice and Accountability Democracy.

Walaupun demikian, hal tersebut tidak berarti kualitas governance di saat ini benar-benar buruk melainkan reformasi masih membutuhkan waktu dan usaha peningkatan. Yang paling menentukan adalah keberadaan visionary leadership, seorang pemimpin dengan kualitas kepemimpinan yang punya visi dan karakter. Keberadaannya juga perlu didukung oleh lembaga yang loyal dan profesional seperti layaknya lembaga office of the president di Amerika Serikat.

Sayangnya, lagi-lagi visi ini dimentahkan oleh proses interaksi politik yang berlebihan. Patronase penyebabnya, eksekutif seperti menteri di kabinet misalnya cenderung lebih loyal pada parpolnya dibanding loyal pada profesionalisme atau menunjukkan loyalitas pada presiden yang mengemban amanat rakyat.



Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia Telah Berkembang namun Tanpa Kendali
Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah adalah lazim bagi Indonesia. Indonesia yang kompleks secara kultur, geografis dan historis membuat para pendirinya telah berpikir bahwa negeri ini tidak mungkin dipimpin secara sentralistis. Kebijakan otonomi daerah sendiri baru dilaksanakan di Indonesia sepenuhnya di era pemerintahan reformasi setelah selama 32 tahun berada di bawah pemerintahan yang mengutamakan politik penyeragaman.

Yang terakhir adalah dengan dilaksanakannya undang-undang no. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah yang bersemangatkan demokrasi. Sayangnya di lapangan, undang-undang tersebut memilki semangat demokrasi yang terlampau kuat dengan kendali yang minimalis. Akibatnya pemekaran wilayah terjadi di mana-mana dan cenderung berlebihan. Pelayanan publik juga menjadi kurang bermutu dan tidak merata.

Pemekaran ini banyak dilaksanakan karena pertimbangan politis bukan ekonomi maupun endowment. Fenomenanya banyak muncul kebupaten-kabupaten baru yang muncul namun sebenarnya belum memenuhi syarat sebagai daerah tingkat II. Banyak kabupaten yang hanya seukuran dua desa bila dibandingkan dengan daerah lain, akibatnya skala ekonomi di wilayah tersebut tidak pernah bisa terwujud. Ada daerah yang hanya berpenduduk 6.500 orang seperti di salah satu daerah di Maluku Utara. Bila demikian kecil daerah tingkat II tentu pelayanan publik menjadi sulit diwujudkan karena pemerintahan daerah baru tersebut tidak cukup memiliki pemasukan maupun resources. Akhirnya otonomi daerah hanya berjalan semu karena daerah tersebut tetap saja mengandalkan subsidi dari pusat sebagai pembiayaan penyelenggaraan pemerintahannya.



Mengapa kebijakan otonomi daerah menjadi begitu tak terkendali dan kehilangan orientasinya? Pertama, karena pemekaran daerah yang ada di era otonomi sekarang dikaitkan dengan sentimen etnis seperti yang terjadi di Papua. Padahal konsep pendirian kabupaten adalah didasari oleh konsep pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Kedua, pemekaran dan otonomi semata-mata diadakan untuk mengurangi sentimen disintegrasi dari NKRI. Alasan ini sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Ancaman disintegrasi ada bukan karena adanya otonomi atau tidak tapi masalah yang menyangkut keadilan. Wilayah-wilayah yang mengancam akan melakukan disintegrasi kebanyakan adalah akibat perlakuan yang tidak adil dari pusat seperti yang terjadi d Aceh dan Papua. Separatisme muncul bukan tanpa sebab.
Maka, bagaimana pilihan kebijakan yang terbaik agar masalah ini bisa terselesaikan ? Jawabannya adalah kebijakan two stage autonomy. Pendelegasian kewenangan, keuangan dan administratif perlu dilakukan di dua tingkat yakni propinsi dan kabupaten. Bila otonomi daerah hanya diletakkan di daerah tingkat dua atau kabupaten, kebijakan ini tidak bisa menciptakan kemakmuran karena pelayanan publik dan penciptaan lapangan pekerjaan mensyaratkan scale of economy, sumber daya alam, dan kapabilitas sumber daya manusia yang cukup tinggi.


Belajar dari Otonomi Daerah di Cina dan India
Cina dan India kini telah menjelma sebagai raksasa Asia di bidang ekonomi. Cina telah berhasil mengembangkan industri berbasis rumah tangga dan membuat pembangunan tidak hanya dinikmati di pantai timurnya yang ramai. Sekarang orang tidak hanya mengenal Shanghai, Beijing dan Guangzhou tapi mulai mendengar metropolitan baru seperti Chongqing dan Sanya di ujung selatan pulau Hainan. Pun dengan India, industri barang-barang semi konduktor, teknologi informasi dan bajanya menghasilkan orang sekaliber Lakshmi Mittal. Infrastruktur yang mulai merata berhasil memunculkan pusat perekonomian baru seperti Hyderabad, Bangalore dan Chennai. Sementara itu, Indonesia belum menunjukkan kemajuan yang signifikan secara ekonomi dibandingkan dua raksasa tadi.
Kebijakan ekonomi dan desentralisasi ternyata lebih mempengaruhi perekonomian suatu negara dibandingkan dengan bentuk negara. Jadi ekonomi Indonesia bukan tergantung pada wacana federal maupun NKRI sekalipun. Tidak ada jaminan bahwa dengan bentuk negara federal Indonesia menjadi maju ekonominya atau bahkan lebih buruk. Buktinya Cina dengan bentuk negara kesatuan yang totaliter mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Begitupun dengan India yang demokratis dengan bentuk pemerintahan federal.

Cina yang komunis dan totaliter ternyata sangat decentralized dalam kebijakannya. Desentralisasi yang dilakukan di Cina ternyata bukan by design atau terencana dengan matang melainkan karena keadaan yang menuntut demikian. Desentralisasi tersebut terjadi karena Beijing tidak punya cukup uang untuk daerah. Positifnya keleluasaan ini dimanfaatkan oleh pejabat daerah di Cina untuk mengembangkan potensinya masing-masing. Hal ini menimbulkan competitiveness dalam pembangunan. Kemudian dibareng dengan adanya dorongan bagi mereka yang prestasinya baik di kemudian hari akan diangkat ke jenjang karier lebih tinggi. Selain itu di Cina desentralisasi diselenggarakan pada unit pemerintahan yang lebih besar sehingga posisinya cukup mapan. Desentralisasi tersebut dibarengi dengan pemberian kewenangan yang cukup luas.

Di lain pihak India yang federal dan parlementer menyerahkan kewenangannya secara penuh pada masing-masing negara bagian selain urusan diplomatik, moneter dan keamanan. Kewenangan ini dimanfaatkan oleh negara-negara bagian untuk menarik minat investasi luar negeri sehingga mereka bisa tumbuh dengan sendirinya.

Pertanyaan kemudian muncul, mengapa desentralisasi mampu memantapkan perekonomian, menciptakan pemerintahan. Mengapa Indonesia tidak bisa mewujudkan seperti apa yang mereka capai ? tentu saja karena kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang salah arah karena meletakkannya pada skala pemerintahan yang kecil dengan skala ekonomi dan sumberdaya yang jauh lebih rendah. Rasio penduduk dan propinsi di Indonesia dibandingkan dengan Cina dan India secara gamblang menunjukkan hal tersebut.


Rekomendasi
Kebijakan desentralisasi sebenarnya merupakan kebijakan yang tepat untuk membangun bangsa secara ekonomi sekaligus menjaga keutuhannya. Namun untuk mewujudkannya pemerintah Indonesia perlu melakukan reorientasi desentralisasi dengan model baru agar lebih jelas yakni dengan mengadopsi sistem two stages autonomy.

Dalam perjalanannya, kebijakan saja tidak cukup untuk menjamin keberhasilannya. Kualitas birokrasi sebagai tulang punggung pemerintahan sangat menentukan. Hal ini sebenarnya cukup sulit karena administrative reform di Indonesia tidak berjalan dengan baik. Karenanya dibutuhkan pemikiran segar dan inovasi untuk memperbaikinya. Kita tidak boleh hanya berkutat pada birokrasi versi Weberian yang digagas ketika revolusi industri karena pada saat ini kita telah mencapai information age.


Diringkas dari pidato ilmiah awal semester oleh Prof Dr Sofian Effendi, MPIA
Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM